Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kepergian Didi Kempot Bukan Cerita Kesedihan

6 Mei 2020   04:58 Diperbarui: 6 Mei 2020   19:25 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepergian Didi Kempot di pekan pertama bulan Mei 2020, bagi saya bukanlah cerita kesedihan. Ia punya cerita kematian yang bikin banyak orang merasa iri, karena masih sempat mengabdi kala Covid-19 bikin banyak orang larut dalam rasa ngeri.

Bagaimana tidak bikin iri, jika bisa menjalani hidup sebaik-baiknya, kala menjemput mati pun sempat meninggalkan kesan sebaik-baik kesan. Tak banyak orang mampu menjemput kematian dengan cara ini. 

Hampir tidak ada yang mengungkit celanya, meskipun sebagai manusia biasa pastilah ia punya kekurangan selayaknya manusia. Di mana-mana orang mengenang kebaikannya. Di sinilah terasa, ia sukses menjalani hidup, dan sukses juga menebus segala dosa sebagai manusia biasa.

Inilah yang bikin iri. Bikin kita bertanya-tanya, akankah kelak mampu untuk mati dengan cara ini? Mati setelah melakukan kebaikan yang indah adalah seindah-indah kematian. 

Seniman tarik suara ini tak hanya mampu menulis lagu yang indah, tapi sekaligus menulis kehidupan dan kematian dengan indah. 

Tidak sekadar perjuangan hidupnya yang penuh cerita keringat dan semangat hidup. Kematiannya pun mampu menyusupkan semangat kepada fans atau siapa saja yang mengenalnya, bagaimana sebaik-baik hidup dan mati; berjuang sekuat tenaga, menikmati hasil perjuangan dalam hidup hingga mati.

Ia pergi setelah tidak ada beban lagi. Lewat kemampuannya menghibur, ia sempat membawa pesan penting untuk saling menyelamatkan. Dari ajakan untuk tidak mudik karena alasan mencegah wabah corona semakin mewabah, ia pun mampu bikin banyak orang tergugah. 

Ia mampu bikin orang tak hanya melihat kesusahan sendiri di tengah situasi ini, namun mau melihat yang lebih susah. Tidak melalui mimbar khutbah, melainkan lewat nyanyian seputar hati yang gundah, gelisah, dan resah. Ya, lewat lagu-lagu tentang hati yang patah. 

Siapa yang tidak akan iri jika bisa hidup dan mati dengan jalan seperti ini? 

Dulu, di masa-masa awal ia membangun kariernya, kesehariannya adalah cerita kehidupan pengamen jalanan. Jalanan di Slipi dan Palmerah di Jakarta menjadi bagian saksi sejarah, bagaimana ia bertarung di jalanan Jakarta, menjual suara dengan penghasilan ala kadarnya. 

Namun, tampaknya dalam perjalanannya berjuang, ia tidak hanya menjual kebolehan. Ia juga tidak sekadar mencari rupiah demi rupiah. Ia belajar mengasah kepekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun