Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bernapas di Bawah Langit Jakarta Hari Ini

18 April 2020   19:48 Diperbarui: 18 April 2020   19:54 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakarta saat malam di kawasan Kota Tua - Foto: Zulfikar Akbar

Jalanan Jakarta sempat terasa lengang dan tenang. Situasi jalanan begini sebelumnya cuma pernah kulihat di kota-kota kecil di Aceh, atau di Kalimantan dan Sulawesi. Tidak banyak kendaraan bermotor yang wara-wiri. Kalaupun ada yang membedakan, jalanan Jakarta tidak dikuasai sapi atau babi yang acap bermain di jalanan saat kebetulan sepi.

Bahkan saat aku berjemur di lapangan dekat rumah, membawa perasaan seolah sedang berjemur di pantai-pantai Indonesia Timur yang pernah kujelajahi. 

Rasa dari sinar matahari yang menyentuh kulit terasa berbeda dari sebelumnya. Tidak ada perasaan lengket dan kotor seperti yang sering terasa di saat berkeringat di bawah matahari.

Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Sebab cuma bisa dirasakan di awal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta baru diterapkan. Itu juga bertepatan dengan akhir pekan dan liburan. 

Begitu mulai memasuki hari Senin, ndilalah, jalanan tetap saja kembali ramai. Kendaraan bermotor kembali membakar langit Jakarta dengan asap-asapnya.

Sumber Foto: Dreamers.id
Sumber Foto: Dreamers.id

Tak bisa dimungkiri, asap-asap kendaraan punya andil besar atas kualitas udara Jakarta hingga acap masuk dalam kategori tidak sehat. Indeks kualitas udara di atas 155--bahkan pernah mencapai 166 menurut AirVisual. 

Terlepas kita semua membutuhkan alat transportasi, namun dalam kasus polusi di Jakarta, kendaraan bermotor paling banyak andil. Dari semua pemicu paling berpengaruh terhadap kualitas udara Jakarta, transportasi darat mencatat 75 persen, atau paling besar jika dibandingkan pemicu lainnya.

Infografis dari Katadata ini cukup menunjukkan dari mana saja pengaruh terhadap kualitas udara di Jakarta.

Sumber Gambar: KataData
Sumber Gambar: KataData

Artinya, kalaupun ada pengaruh dari pembakaran industri, ternyata hanya 8 persen, sama dengan pembakaran domestik. Sedangkan pemicu lainnya seperti pembangkit listrik atau PLTU hanya 9 persen.

Makanya kenapa sorotan atas pemicu buruknya udara Jakarta cenderung mengarah ke kendaraan bermotor. 

Apalagi panjang jalan di seantero Jakarta saja mencapai 7 ribu km. Ditambah lagi ada catatan yang menyebut bahwa jumlah kendaraan yang sehari-hari melintasi jalanan Jakarta mencapai 13,3 juta. Itu baru jumlah sepeda motor. Belum lagi mobil penumpang sempat tercatat 3,5 juta unit. Bayangkan saja bagaimana dampaknya terhadap udara Jakarta.

Pengamat otomotif pun mengakui hal itu. Seperti diungkapkan oleh Bebin Djuana dalam salah satu wawancara, pengamat ini menegaskan bahwa kendaraan memang salah satu penyumbang polusi udara terbesar. 

Mengintip data Kompas.com, Jakarta bahkan pernah muncul dalam urutan pertama kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, tepatnya pada 29 Juli 2019. Saat itu, indeks kualitas udara di Jakarta saat itu tercatat 183, kategori tidak sehat.

Makanya penerapan PSBB belum sepenuhnya bikin lega. Sebab kendaraan di ruas jalan utama tetap saja disesaki dengan kendaraan. Tidak heran jika hari Jumat (17 April 2020), laporan AirVisual per pukul 09.19, Indeks Kualitas Udara (Air Quality Index) mencapai 138.

Jika dilihat lagi pemicu udara sempat kembali memburuk, ternyata ada kaitannya lagi dengan kendaraan bermotor yang sempat kembali ramai. Dalam laporan CNNIndonesia, Senin 13 April 2020, kendaraan bermotor memang kembali menyesaki jalanan Jakarta di hari keempat diterapkannya PSBB.

Bahkan di media sosial sempat viral video di Tanah Abang yang menunjukkan jalan yang kembali dipenuhi berbagai kendaraan bermotor. Lantaran sempat beredar kabar bahwa pusat grosir Tanah Abang sudah dibuka lagi.

Ditambah lagi  karena banyak pekerja dari luar Jakarta yang masuk dengan berbagai kendaraan walaupun angkutan umum sudah dibatasi. 

Katakanlah para pekerja yang berasal dari daerah penyangga seperti Bekasi, Depok, Bogor, Bekasi, hingga Tangerang dan Tangerang Selatan. Daerah-daerah ini belum menerapkan PSBB saat DKI Jakarta menerapkannya dari Jumat 10 April 2020.

Apalagi kalau melihat jumlah pekerja yang ada di Jakarta. Pekerja informal saja mencapai 70, 49 juta orang (berdasarkan data BPS Agustus 2019). Ditambah pekerja formal mencapai 56,02 juta orang. Kebayang bagaimana Jakarta di hari kerja, kan?***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun