Di stasiun kereta, keduanya berjumpa, tertawa, berbagi cerita, dan menunjukkan kedalaman cinta terhadap negaranya. Di stasiun kereta, mereka tampil selayaknya dua manusia biasa, sekaligus membawa pesan untuk bangsanya. Di sana, mereka menegaskan persahabatan, persaudaraan, dan cita-cita untuk saling menguatkan untuk membuat Indonesia semakin kuat!
Sepanjang tahun politik, hawa panas menebar di mana-mana. Tidak cuma di antara pihak-pihak yang memburu istana, tetapi juga hingga ke masyarakat yang acap bercengkrama di kaki lima. Hari ini, Sabtu 13 Juli 2019, kesejukan kembali datang dari dua orang yang selama ini menjadi "ikon" bagi masyarakat yang terbelah dalam dua kubu.
Sebelum hari ini, nyaris sepanjang tahun, publik terbelah dalam narasi semacam "Jokower" untuk meledek pendukung petahana Joko Widodo, dan "Praboker" untuk pendukung Prabowo Subianto.Â
Ini juga yang membuat api permusuhan sempat nyala. Terlebih dibakar lagi dengan figur-figur yang gemar memainkan narasi "dungu" hingga "IQ 200 sekolam." Semakin panas saja suhu politik di akar rumput.Â
Selayaknya rumput, saat ia tercerabut dari tempatnya karena kemarau yang membuat tanah meretak, mengering hingga mudah tersulut api dan terbakar.Â
Kisruh pada Mei lalu mungkin bisa dikatakan sebagai puncaknya. Tidak saja kendaraan aparat kepolisian dibakar massa, namun beberapa masyarakat biasa yang terjun ke dalam keributan itu jadi korban karena begitu menikmati hawa panas tersebut.Â
Pemilihan Presiden (Pilpres) bisa dikatakan sebagai pemicu serius narasi kebencian hingga permusuhan tersebut. Belum lagi ulah beberapa figur publik yang gemar mengutarakan pandangan dan narasi berbau perang, semakin menakutkan saja keadaan negeri ini.Â
Saking menakutkan keadaan saat itu, beberapa teman yang sama-sama terjun dalam "pertarungan" kontestasi tersebut bahkan sudah menyiapkan diri untuk benar-benar hengkang kalau sampai akhirnya ribut dalam skala besar. Sebab bukan rahasia, di banyak negara, politik bahkan dapat memicu perang.Â
Coba saja baca-baca bagaimana berdarah-darahnya beberapa negara di Asia, Afrika, atau bahkan Eropa. Hanya lantaran perebutan kekuasaan, mereka acap menulis sejarah beraroma darah.Â
Sejarah itulah yang sempat menjadi ketakutan, dan dikhawatirkan akan terjadi di sini.Â
Maka itu, Indonesia pantas berterima kasih kepada dua "ikon" yang menjadi sosok sentral dalam tahun-tahun politik di Tanah Air. Terlepas keduanya bertarung dengan sengit, begitu juga dengan pengikut mereka, namun akhirnya bisa memitigasi kemungkinan terjadinya ketegangan yang dapat saja membahayakan semua.