Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pikiran Rizieq Shihab atau Kewarasan Gus Dur?

11 Mei 2019   22:28 Diperbarui: 11 Mei 2019   22:42 2232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan ayat yang memuat kata "duulatan" tadi lebih condong membahas pada bagaimana supaya tidak terjadinya penumpukan harta pada satu kelompok, melainkan mesti berputar atau beredar. Ringkasnya, Gus Dur hanya setuju dengan sistem ekonomi dari sebuah negara sebagai titik yang dibidik kitab suci tersebut, bukan bentuk negara. 

Sebab, menurut Gus Dur, Islam cenderung fleksibel. Tidak kaku pada pemahaman pada bentuk sebuah negara, tetapi cenderung pada fungsi.

Inilah yang sepanjang hidup diperjuangkan Gus Dur, dan belakangan juga gigih disampaikan oleh ulama-ulama Nahdhatul 'Ulama (NU) seperti KH Mustofa Bisri, KH Said Aqil Siradj, KH Nasaruddin Umar, KH Masdar F. Mas'udi hingga kiai sepuh seperti KH Maimun Zubair. Tak terkecuali ulama muda seperti Gus Muwafiq, atau Nadirsyah Hosen, pun memperlihatkan kegigihan berpegang pada pemahaman senada Gur Dur.

Sebab ulama-ulama tadi cenderung melihat agama sebagai sesuatu yang tidak sempit. Islam itu adalah sesuatu yang luas. Maka itu mereka menolak pemahaman yang mendudukkan agama terbatas oleh wilayah, oleh luas, oleh kapasitas penduduk, dan hal-hal yang terbatas. 

Jika disederhanakan, sesuatu yang sempit cenderung gampang retak atau pecah dan hancur. Sedangkan jika sesuatu itu tetap luas sebagaimana adanya, maka segala sesuatu cenderung lebih luas, dan lebih banyak hal bisa dieksplorasi oleh manusia, kecil kemungkinan meretak atau hancur.

Jadi, menentang pemahaman yang ditebar oleh Rizieq Shihab, bukanlah penentangan terhadap agama. Bukan penentangan terhadap Islam. Namun itu menjadi sebuah sikap cinta terhadap agama agar terjaga kesucian dan kehormatannya, sekaligus cinta terhadap negara yang di dalamnya memang ditopang oleh berbagai anasir suku, agama, bahasa, dan segala perbedaan.

Maka itu, saya pribadi sangat mengapresiasi inisiatif ulama-ulama NU saat mengadakan acara Multaqo Ulama, pada hari Jumat (3/5) baru-baru ini. Sebab di sanalah para ulama tersebut menegaskan sikap mereka dalam melihat Islam dan Indonesia. Bagi mereka, Islam dan Indonesia tidaklah bertentangan. Pun, pesta demokrasi yang baru saja berlangsung bukan untuk berpecah belah, namun mesti menjadi semangat yang merekatkan kita sebagai anak bangsa.

Penegasan itu juga disampaikan oleh Kiai Aqil Siradj. "Tunjukkan bangsa Indonesia yang mayoritas umat Islam paham berdemokrasi, dewasa berdemokrasi, matang bernegara," kata pemimpin NU tersebut. "Pemilu boleh beda pilihan setelah pemilu selesai, kita bersatu kembali itu tujuannya."*** (Cat: Penulis juga menayangkan artikel ini di situs berbeda)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun