Sekitar tiga bulan lalu, saya berada di sebuah warung kopi di Aceh. Kedatangan saya ke Jeuram, Nagan Raya, persis sehari setelah kedatangan Joko Widodo (Jokowi) ke "Tanoeh Rencong" tersebut. Alhasil, obrolan yang lahir di warung kopi ini tentu saja tidak jauh-jauh seputar Jokowi.
Bergelas-gelas kopi tuntas, tapi "cang panah"Â alias obrolan seputar Jokowi tidak tuntas-tuntas. Apakah semua di belakang meja warung kopi ini adalah pendukung Jokowi? Tidak juga.Â
Di sekeliling meja berbentuk segi empat tersebut, ada saya yang acap disebut sebagai "cebong" karena dikenal sudah bertarung sendiri mengenalkan Jokowi ke Aceh saat pertama ia bertarung di pemilihan presiden--walaupun Jokowi tidak mengenal saya. Selain saya, ada tokoh politik daerah yang belum pasti mau menjatuhkan pilihan ke mana, juga beberapa eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan tokoh gampong (desa).
Di Aceh, warung kopi (waroeng kuphie) memang menjadi perekat siapa saja. Di sana tidak ada cerita siapa berasal dari mana, siapa menjabat apa, atau siapa punya apa. Sebab terpenting siapa yang mampu mengisi "cang panah" atau obrolan.Â
Di sanalah mengalir cerita demi cerita. Yang mengaku belum mengambil keputusan memilih siapa, berdalih bahwa ia masih menunggu dulu berbagai kemungkinan. "Meunyoe kupileh si pulan, pue na hasee keu lon. Meunyoe kupileh si pulen, pue na hasee keu lon?"
Ringkasnya, dalam mengambil keputusan memilih siapa, mereka secara lugas mengaku menunggu mana yang paling mampu meyakinkan mereka. "Kepue kujak pileh ureueng hana kuturi? Kupileh pastilah yang kuturi, dan kuteupue jeulah pue jeut dipeubuet,"Â kata salah satu dari mereka di meja warung kopi itu. Bermakna kira-kira, buat apa saya memilih orang yang tidak saya kenal? Saya pastilah memilih yang paling saya kenal, dan paling saya ketahui apa yang mau dikerjakan--jika ia terpilih.
Tentu saja. Itu bukan sekadar obrolan warung kopi. Mereka mewakili suara banyak orang di negeri ini, terutama mereka yang berprofesi sebagai aparat desa, pejabat kelas kecamatan, guru honorer, hingga Sales Promotion Girl/Boy (SPG/SPB), atau penjaga gerai makanan.Â
Apa yang mereka butuhkan tidak muluk-muluk. Mereka hanya membutuhkan kepastian, bahwa dalam kaitan dengan Pemilu/Pilpres, kelak membuahkan hasil yang jelas bagi mereka yang berada di tempat yang jauh dari lingkaran kekuasaan. Entah karena mereka bertempat tinggal jauh dari Jakarta, atau memang profesi yang mereka jalani sehari-hari memang terbilang jauh dari status prestisius.Â
Di sini, Jokowi yang notabene adalah petahana, tentu saja memiliki keuntungan karena lebih dapat memetakan masalah sebenarnya dari kalangan yang tadi disebut berada di tempat yang "jauh" dari lingkaran kekuasaan. Ia sudah melihat, mendengar, dan bahkan berkeliling Indonesia untuk dapat menyimak lebih jelas apa saja suara mereka yang di masa lalu acap terpinggirkan.Â
Mau tidak mau, Jokowi sajalah yang sejauh ini lebih banyak turun ke bawah, datang ke toko-toko kecil, berbicara dengan pedagang di pasar tradisional, hingga duduk di warung-warung kopi yang biasanya hanya jadi tempat masyarakat menengah ke bawah.Â