Urusan coblos-mencoblos memang tidak segampang mengambil paku dan menusukkan ke calon atau partai yang mau dipilih di bilik suara. Banyak yang harus bergulat dulu dengan keresahan, kekecewaan, kegalauan, hingga kemalasan. Pergulatan ini sama sekali tidak mudah, hingga banyak cerita di mana calon pemilih acap memilih untuk tidak memilih.
Beberapa kenalan, terutama di linimasa media sosial, tak sedikit yang bahkan memamerkan pilihan sikap mereka yang memilih untuk tidak memilih. Dalam demokrasi, sikap ini sah-sah saja. Masalahnya, apakah sikap ini akan menguntungkan mereka yang tidak memilih?Â
Di sinilah pertanyaannya. Bukan jawabannya.Â
Kalau saja pilihan untuk tidak memilih bisa menjadi jawaban, tak ada yang harus meninggalkan pekerjaan dan kesibukan pribadi untuk repot-repot menuju lokasi bilik suara. Tinggal diam dan membiarkan saja yang terjadi biarlah terjadi.Â
Di sini juga yang acap menjadi perdebatan, yang memilih untuk menolak memilih bertarung untuk mempertahankan pendapatnya untuk tidak memilih. Di pihak lain ada juga yang menentang mereka, dan tak sedikit yang menghakimi mereka.Â
Jika dulu perdebatan itu lebih sering muncul di media massa, belakangan ini muncul di media sosial. Di sini juga berlangsung pergulatan seputar itu, dari yang sekadar menegaskan belum adanya keputusan, hingga yang memutuskan memang dengan segenap jiwa raga tidak akan memilih.
Namun memvonis bahwa mereka yang enggan atau tidak mau memilih tidak punya hak apa-apa setelah pemilihan berlangsung, rasanya juga tidak elok. Sebab, sebagaimana celetukan di linimasa, "Kami juga membayar pajak, kami juga punya hak sebagai warga negara umumnya!"
Nah, kalau begini mau gimana, cuk?
Sebab Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri mencatat bahwa ada kecenderungan kalangan yang memilih untuk tidak memilih atau golongan putih (golput) akan meningkat.Â
Namun melonjaknya "ancaman" golput ini ternyata menemui titik balik, dalam arti lebih tinggi dibandingkan masa-masa sebelumnya, justru setelah reformasi bergulir. Ada catatan, pada Pemilu 2009, mereka yang memilih golput mencapai 29,1 persen.Â
Di masa lalu, sebut saja tahun 1955, angka golput hanya 8,60 persen. Bahkan pada 1971 sempat hanya mencatat 3,4 persen saja.Â
Namun geliat kenaikan angka golput itu sendiri semakin menjadi tren sejak 1977 hingga 1997. Lantas memuncak pada 1999, yang ditengarai karena kekecewaan sebagian masyarakat terhadap negara. Belum lagi fakta, bahwa ada rezim yang berkuasa lebih dari 30 tahun, alih-alih menyejahterakan rakyat, justru hanya mencetak "golongan kaya" yang berasal dari "kalangan sendiri" di lingkaran penguasa. Hanya mereka saja yang cenderung kaya raya.
Tampaknya kekecewaan senada juga sehingga pada 2009 pun, atau setelah 10 tahun reformasi, angka golput semakin meninggi terutama di Pilpres. Bayangkan, persentase golput di tahun 2009 itu mencapai 28,30 persen.Â
Itu tentu saja kontras dengan Pilpres 2004 yang sejatinya lebih menyita tenaga, baik penyelenggara pemilihan maupun masyarakat yang memiliki hak untuk memilih. Pasalnya, saat putaran kedua saja, angka golput hanya mencapai 23,4 persen, atau hanya sedikit naik dari putaran pertama yang mencapai 21,8 persen--saat itu Pilpres berlangsung dalam dua putaran karena tidak ada kandidat yang mampu melampaui 50 persen.
Dari 23,4 persen meningkat tajam jadi 28,30 persen, cukup membuktikan bahwa adanya tren negatif dalam melihat pesta demokrasi tersebut.Â
Merujuk e-jurnal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ada hasil penelitian Sri Yuniarti yang secara khusus membidik pemandangan ini. Di antaranya disinggung kenapa golput meningkat, lantaran adanya ketidakpuasan terhadap partai politik, hingga ada juga yang terpaksa golput karena alasan teknis semisal tidak terdaftarnya nama calon pemilih.
Di sisi lain, persoalan golput ini sendiri juga acap jadi perdebatan bahkan dari peristilahannya sendiri. Pasalnya, ada juga peneliti LIPI seperti Luky Sandra Amalia yang sempat menegaskan, perlu terlebih dulu adalah konsep golput. Sebab menurutnya, mereka yang memilih golput berbeda dengan pemilih yang tak menggunakan hak suara, lantaran ia cenderung "mengkultuskan" golput secara khusus hanya kepada mereka yang tidak memilih karena alasan ideologis.
Terlepas perdebatan itu, saya pribadi cenderung memilih menyederhanakan bahwa mereka yang tidak memilih sebagai golput. Sebab, terlepas alasan ideologis atau apa pun, masalahnya sama saja: tidak memilih. Efeknya juga kurang lebih sama, legitimasi terhadap hasil Pemilu akan lemah terlepas siapa pun yang jadi pemenang.
Kembali ke persoalan, memang ada faktor pemicu juga kenapa golput justru melonjak setelah Soeharto tumbang. Bukan rahasia, jika di masa itu, sesiapa yang memilih nekat untuk menolak memilih atau golput bakal "dicatat" dan berisiko dikucilkan atau bahkan "dibina"--sebagai bahasa halus adanya keharusan berurusan dengan aparat berwajib.
Maka itu, di era Soeharto, mereka yang golput cenderung menunjukkan ciri khas tertentu, karena mereka hanya "berpartisipasi" sekadar memenuhi kewajiban. Ya, memilih saat itu memang terkesan sebagai kewajiban, walaupun konstitusi hanya menegaskan itu hanyalah hak--bukan kewajiban. Mereka memilih sekadar datang ke lokasi pemilihan, dan merusak surat suara; dari memilih lebih dari partai atau mencoret-coret kertas suara.
Kenapa pemandangan itu terjadi, lagi-lagi karena berdemokrasi di era itu cenderung kental dengan pemaksaan. Tidak ada cerita bahwa pemerintah percaya terhadap kesadaran publik, kesadaran atas haknya sebagai rakyat, atau membiarkan begitu saja rakyat bersikap dengan bagaimana mereka mau. Adanya hanya keinginan penguasa, bukan keinginan rakyat. Memilih pun saat itu hanya karena mengikuti maunya penguasa, bukan maunya rakyat.
Berbeda dengan saat ini, apa yang menjadi kemauan rakyat terlihat lebih mendapatkan tempat. Bahkan saat mereka memilih untuk tidak memilih pun penguasa sama sekali tak punya kuasa untuk memaksa. Sebab tren kini hanya bersandar kepada kesadaran, bukan pemaksaan.
Masyarakat sadar bahwa mereka tak bisa dipaksa-paksa, hingga mereka bisa memilih sikap apa saja sepanjang tidak bertabrakan dengan aturan negara.Â
Bahwa dengan alasan kesadaran itu juga maka sebagian memilih untuk tidak memilih, memang itu hak mereka. Tidak ada yang perlu dipaksa. Namun pertanyaannya, seberapa berarti sebuah kesadaran jika kesadaran itu justru hanya membuat orang menjadi pasif?Â
Sebab jika melihat urusan negara dengan kacamata ibarat sebuah pertarungan, maka tidak ada pertarungan yang dimenangkan dengan sikap pasif. Bahkan bisa jadi, sikap pasif seperti ini tidak saja akan membuat orang itu sendiri terbunuh, namun sekelilingnya pun akan hancur. Ya, ini jika kita mencoba membayangkan negara layaknya sebuah medan pertarungan.
Terlebih hari ini, negeri kita sendiri memang masih bertarung dengan banyak negara, entah dalam hal ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, dan sebagainya. Sikap pasif hanya akan membuat sebuah negara dan rakyat di sana tenggelam dalam perasaan minder, rendah diri, tidak percaya diri, hingga akhirnya benar-benar tenggelam.Â
Nah, kalau kesadaran justru berujung pada kehancuran, tenggelam dan hancur, apakah ini bisa disebut sebagai kesadaran? Bukankah kesadaran semestinya justru membangkitkan, menggerakkan, menguatkan, dan mampu membawa perbaikan terhadap banyak hal?Â
Menunggu yang sempurna sebagai calon pemimpin, sama saja berkhayal mengharapkan Tuhan sendiri yang turun dan mengikuti Pilpres. Di tangan-Nya mungkin semua akan beres karena Dia diimani sebagai Yang Mahasempurna.Â
Jika kebebasan jadi alasan untuk tidak memilih, hati-hati juga, sebab bukan tidak mungkin kebebasan itu akan terenggut. Sebab, jika negeri ini kembali jatuh ke penguasa bermental tangan besi, hanya mau bicara tanpa mau mendengar, hanya bicara berapi-api tapi tak pernah mampu membawa kesejukan, kebebasan yang dipuja-puja bukan mustahil akan benar-benar lenyap.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H