Di masa lalu, sebut saja tahun 1955, angka golput hanya 8,60 persen. Bahkan pada 1971 sempat hanya mencatat 3,4 persen saja.Â
Namun geliat kenaikan angka golput itu sendiri semakin menjadi tren sejak 1977 hingga 1997. Lantas memuncak pada 1999, yang ditengarai karena kekecewaan sebagian masyarakat terhadap negara. Belum lagi fakta, bahwa ada rezim yang berkuasa lebih dari 30 tahun, alih-alih menyejahterakan rakyat, justru hanya mencetak "golongan kaya" yang berasal dari "kalangan sendiri" di lingkaran penguasa. Hanya mereka saja yang cenderung kaya raya.
Tampaknya kekecewaan senada juga sehingga pada 2009 pun, atau setelah 10 tahun reformasi, angka golput semakin meninggi terutama di Pilpres. Bayangkan, persentase golput di tahun 2009 itu mencapai 28,30 persen.Â
Itu tentu saja kontras dengan Pilpres 2004 yang sejatinya lebih menyita tenaga, baik penyelenggara pemilihan maupun masyarakat yang memiliki hak untuk memilih. Pasalnya, saat putaran kedua saja, angka golput hanya mencapai 23,4 persen, atau hanya sedikit naik dari putaran pertama yang mencapai 21,8 persen--saat itu Pilpres berlangsung dalam dua putaran karena tidak ada kandidat yang mampu melampaui 50 persen.
Dari 23,4 persen meningkat tajam jadi 28,30 persen, cukup membuktikan bahwa adanya tren negatif dalam melihat pesta demokrasi tersebut.Â
Merujuk e-jurnal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ada hasil penelitian Sri Yuniarti yang secara khusus membidik pemandangan ini. Di antaranya disinggung kenapa golput meningkat, lantaran adanya ketidakpuasan terhadap partai politik, hingga ada juga yang terpaksa golput karena alasan teknis semisal tidak terdaftarnya nama calon pemilih.
Di sisi lain, persoalan golput ini sendiri juga acap jadi perdebatan bahkan dari peristilahannya sendiri. Pasalnya, ada juga peneliti LIPI seperti Luky Sandra Amalia yang sempat menegaskan, perlu terlebih dulu adalah konsep golput. Sebab menurutnya, mereka yang memilih golput berbeda dengan pemilih yang tak menggunakan hak suara, lantaran ia cenderung "mengkultuskan" golput secara khusus hanya kepada mereka yang tidak memilih karena alasan ideologis.
Terlepas perdebatan itu, saya pribadi cenderung memilih menyederhanakan bahwa mereka yang tidak memilih sebagai golput. Sebab, terlepas alasan ideologis atau apa pun, masalahnya sama saja: tidak memilih. Efeknya juga kurang lebih sama, legitimasi terhadap hasil Pemilu akan lemah terlepas siapa pun yang jadi pemenang.
Kembali ke persoalan, memang ada faktor pemicu juga kenapa golput justru melonjak setelah Soeharto tumbang. Bukan rahasia, jika di masa itu, sesiapa yang memilih nekat untuk menolak memilih atau golput bakal "dicatat" dan berisiko dikucilkan atau bahkan "dibina"--sebagai bahasa halus adanya keharusan berurusan dengan aparat berwajib.
Maka itu, di era Soeharto, mereka yang golput cenderung menunjukkan ciri khas tertentu, karena mereka hanya "berpartisipasi" sekadar memenuhi kewajiban. Ya, memilih saat itu memang terkesan sebagai kewajiban, walaupun konstitusi hanya menegaskan itu hanyalah hak--bukan kewajiban. Mereka memilih sekadar datang ke lokasi pemilihan, dan merusak surat suara; dari memilih lebih dari partai atau mencoret-coret kertas suara.
Kenapa pemandangan itu terjadi, lagi-lagi karena berdemokrasi di era itu cenderung kental dengan pemaksaan. Tidak ada cerita bahwa pemerintah percaya terhadap kesadaran publik, kesadaran atas haknya sebagai rakyat, atau membiarkan begitu saja rakyat bersikap dengan bagaimana mereka mau. Adanya hanya keinginan penguasa, bukan keinginan rakyat. Memilih pun saat itu hanya karena mengikuti maunya penguasa, bukan maunya rakyat.