Menjelang siang, Sabtu 16 Maret 2019, Romahurmuziy harus mengenakan pakaian berwarna cerah. Namun kariernya di dunia politik memang tak dapat lagi dikatakan cerah. Ada awan hitam menggelayuti dirinya, hingga menghujaninya dengan berbagai perasaan yang tidak mudah dibayangkan.Â
Namun, di tengah kepekatan keadaan yang mesti dihadapinya, tampaknya Rommy (Romy) merasa sangat bersalah kepada partainya (Partai Persatuan Pembangunan/PPP). Bagaimanapun partai inilah yang telah menjadi bagian identitasnya, sekaligus "rumah" yang menaungi hingga membesarkannya di dunia politik.
Pukulan terberat baginya, tentu saja lantaran ia berasal dari kalangan keluarga tokoh agama. Di samping lingkaran pergaulannya pun tak jauh-jauh dari kalangan santri, karena ia memang berangkat dari sana. Di sini, cukup bisa dibayangkan, ada beban sangat berat mesti ditanggung politikus berusia kepala empat tersebut.Â
Ada kekecewaan yang juga menular ke lingkarannya. Tidak terkecuali Kiai Maimun Zubair, sebagai tokoh di partai tersebut, sekaligus merupakan ulama yang sangat dihormati di Tanah Air.Â
Namun jika ingin melihat dengan jernih, persoalan yang menimpa Romy sejatinya tidaklah berkaitan dengan apapun di lingkarannya. Tidak menjadi cerminan seperti apa partai di belakangnya, atau orang-orang di sekitarnya. Ini adalah urusan pribadinya, dan harus ia hadapi sendiri.
Sederhananya, anak seorang nabi pun punya riwayat memunggungi risalah sang ayah--merujuk ke beberapa cerita kenabian di mana seorang nabi tak selalu melahirkan nabi. Apalagi semata karena satu partai politik, tentu saja tidak berarti bahwa dengan apa yang terjadi atasnya lantas membenarkan untuk menghakimi pihak lain di partainya.
Begitu juga dengan keberadaannya di kubu Joko Widodo, petahana yang tak lama lagi akan bertarung kembali di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Tentu saja itu bukanlah mencerminkan bahwa itulah gambaran kubu petahana tersebut.
Apa yang tercermin dari sini adalah persoalan mentalitas pribadi, hingga soal kekuatan pribadi dalam menghadapi godaan besar sebagai tokoh besar di sebuah partai politik. Mungkin saja sebelumnya ia mampu menghadapi berbagai godaan besar yang pernah ada, pernah mampu menahannya, namun dengan semakin bertubi-tubinya godaan itu membuatnya lemah juga.
Kalau mau diambil pesan penting dari apa yang menimpa Romy adalah bahwa politik memang tidak sekadar membutuhkan tenaga yang besar dalam menantang ombak di dunia politik itu sendiri. Namun juga sejauh mana mampu membebaskan diri dari perasaan terlena ketika menghadapi air tenang dan angin yang bertiup sepoi-sepoi. Sebab air tenang bisa menjadi ombak raksasa, dan angin sepoi-sepoi dapat saja berubah jadi menjadi badai.
Tantangan PPP, Bukan TKN
Apakah dengan badai dan ombak besar menimpa Romy itu lantas membawa pengaruh kepada partainya (PPP) dan juga Tim Kampanye Nasional (TKN) yang juga membutuhkan tenaganya?Â