Kalau melihat ke akarnya, persoalan Romy lebih terlihat sebagai persoalan partainya, bukan TKN. Sebab PPP adalah bagian identitas yang melekat kepadanya di dunia politik. Sedangkan TKN bersifat temporer atau sementara, selain juga di sana tidak hanya terdapat satu partai saja, melainkan ada banyak partai lain dan bahkan lebih besar dibandingkan partainya.Â
Artinya, pengaruh yang ada justru lebih berdampak terhadap PPP alih-alih terhadap TKN. Belum lagi karena di Pemilu lalu, PPP hanya menangguk suara 6,53 persen dibandingkan partai lain. Masih di bawah Nasdem (6,72 persen) dan PKB (9,04 persen). Ada beban besar PPP untuk menebus kekurangan Pemilu lalu, dan kini harus menghadapi realitas berupa kembali tersandungnya ketua umum partai, setelah di masa lalu pun Suryadharma Ali di posisi serupa pun tersandung masalah yang juga serupa--meski tidak sama.
Soal parpol yang menjadi penopang TKN, saat ini pun masih ada PDIP yang menjadi kampiun dalam perolehan suara di Pemilu lalu (18,95 persen) hingga Partai Golongan Karya (14,75 persen). Kasarnya, gonjang-ganjing menimpa Romy tak terlalu berdampak terhadap TKN sendiri. Kecuali, sekadar pelintiran-pelintiran para buzzer oposan yang menggiring kasus Romy ke arah TKN dan Jokowi. Ini juga takkan terlalu berpengaruh karena suara di media sosial tidaklah sepenting suara riil yang ada di luar keriuhan warganet.
Jadi, TKN masih memiliki banyak pegangan setelah salah satu pegangan (Romy di PPP) mengalami masalah. Kesulitan serius saat ini justru hanya pada PPP, karena mereka digelayuti persoalan semakin sulitnya menaikkan atau menjaga elektabilitas, dan memastikan mampu melewati ambang batas alias electoral treshold agar PPP tidak cuma tinggal nama.
Ancaman kemungkinan terjadinya cerita berupa "hanya tinggal nama" karena telah dua kali partai tersebut mengalami pukulan teramat telak. Setelah nama Suryadharma Ali tercederai kasus mirip, kini menimpa lagi pada Romy. Dua nama besar itu tercoreng, memang terlalu berisiko semakin mencoreng adang ke wajah partai mereka tersebut.
Meski begitu, selalu ada harapan untuk menjadi lebih baik. Bagi Romy, entah berapa lama hukuman atasnya, namun kelak hanya perlu mengisi sisa hidup dengan berbagai hal lebih baik. Sebab bagaimanapun, Romy masih layak disebut sebagai pemilik nama besar, berasal dari keluarga dengan pengaruh besar, dan masih punya tenaga yang cukup besar. Potensi-potensi besar ini masih bisa dimanfaatkan untuk melakukan kebaikan jauh lebih besar di masa depan.Â
Sedangkan PPP sendiri, dengan dua badai besar disebutkan tadi, tinggal bekerja jauh lebih keras daripada biasanya. Lebih melelahkan, memang, namun kelelahan tetap memberikan harapan untuk memastikan hasil sesuai dengan "keringat" yang ditumpahkan.
Sementara TKN yang juga berkaitan dan terseret oleh persoalan ini, terbilang lebih ringan. Sebab mereka tinggal mengembalikan persoalan ini kepada hukum, dan membiarkan hukum bekerja sebagaimana mestinya. Tidak ada intervensi terhadap hukum walaupun punya kekuatan sebagai kubu petahana, justru memberikan dampak berupa respek dari publik. Bahwa, kubu petahana masih menghormati hukum, dan kekuasaan di tangan mereka sama sekali tidak dimanfaatkan untuk mengangkangi hukum.Â
Sikap ini justru berpotensi menambah keyakinan publik, bahwa kekuatan hukum justru membaik karena petahana mampu memastikan hukum berjalan tanpa ada campur tangan dari lingkaran kekuasaan. Inilah yang ditunggu-tunggu publik setelah di masa lalu acap penuh cerita bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ya, sebab kini hukum kian terlihat sebagai silet yang sama tajam, entah ke atas atau ke bawah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H