Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mien Uno, Ibunda Sandi yang Terseret ke Drama Pilpres

19 Februari 2019   03:36 Diperbarui: 19 Februari 2019   13:07 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rachmini Rachman atau yang terkenal sebagai Mien R. Uno memang nama yang cukup tenar. Apalagi, di masa lalu, saat TVRI masih menjadi satu-satunya stasiun TV di Indonesia, ia sudah terkenal sebagai pengasuh acara "Dunia Wanita" dan "Lembaga Konsumen" hingga namanya akrab dengan generasi Baby Boomers. 

Nama ibunda Sandiaga Uno tersebut dapat dikatakan mampu menyalip nama Razif Halik Uno atau Henk Uno yang tak lain adalah suaminya sendiri. Saking begitu tenarnya sosok Mien Uno, karena kepiawaiannya mengaktualisasikan diri, sekaligus menjadi pusat perhatian banyak orang. 

Di sisi lain, dari pamor dimiliki oleh sosok Mien Uno ini juga, dapat dikatakan bahwa keluarga ini adalah keluarga elite. Bahkan Globe Asia pernah menobatkannya sebagai salah satu wanita berpengaruh di Indonesia. 

Maka itu, saat beberapa waktu lalu heboh tagar #SandiwaraUno, dan Mien Uno tampil mencak-mencak di depan pers, seketika menghebohkan publik dan bahkan jadi perbincangan luas di media sosial. 

Satu sisi dapat dimaklumi, bahwa ini adalah reaksi seorang ibu karena melihat sang anak bungsu, Sandi, jadi sasaran ledekan lewat tagar #SandiwaraUno tersebut. Ada perasaan tidak rela, ketika si bungsu tersebut dirasa olehnya direndahkan banyak orang. 

Tak ayal, ia melayangkan kecaman keras di depan pers. "Saya ingin berhadapan dengan orang itu untuk mengatakan apa yang dilakukan adalah sesuatu yang memang benar terjadi," Senin lalu, (11/2/2019). "Kalau ada orang yang mengatakan itu Sandiwara Uno, dia harus minta maaf kepada ibunya yang melahirkan dan mendidik Mas Sandi dengan segenap tenaga untuk menjadi orang yang baik. Siapa yang mau berhadapan dengan saya sebagai ibunya?" 

Kalimat-kalimat tersebut cukup menyiratkan kegusaran besar yang dirasakan oleh Mien Uno. Namun di sisi lain, juga tercium ketidakrelaan sang ibu atas pilihan anak bungsunya tersebut berkecimpung di dunia politik.

Mien Uno seolah menegaskan bahwa Sandi belum cukup dapat dipercaya untuk mampu melindungi diri. Belum cukup bisa untuk dilepas begitu saja, menjadi seorang lelaki sebenarnya, menghadapi realitas hidup dengan kaki dan pikiran sendiri, dan berjibaku dengan tangan sendiri. 

Mengaitkan dengan realitas Pilpres 2019, ini dapat saja menjadi bumerang serius. Sebab ranah politik tentu saja bukan wilayah perasaan. Ia adalah medan pertarungan, karena acap menghadapkan orang pada dua pemandangan lazim antara kawan atau lawan. Di sini, Sandi sang anak bungsu tadi jadi terkesan lemah, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, dan bisa jadi oleh ibunya sendiri pun tak dipercaya.

Sebab, dengan pilihan sikap sang ibu untuk campur tangan di tengah gelombang besar pertarungan politik, memang menguatkan kesan bahwa ia tidak menemukan alasan dan bukti kuat bahwa anaknya akan sanggup menghadapi realitas politik tersebut. Ini bisa memunculkan anggapan publik, bagaimana kelak ia bisa mengurus rakyat se-Indonesia yang berpenduduk lebih dari 200 juta, jika untuk mengurus diri saja dia belum sepenuhnya bisa.

Memang, jika berusaha memaklumi, ada pandangan lama yang menyebut bahwa seorang anak, entah dia sudah berusia berapa saja, sudah menjadi apa pun, bagi seorang ibu ia tetaplah seorang anak-anak.

Apalagi di beberapa catatan juga disebutkan jika Sandi adalah seorang anak bungsu. Selayaknya anak bungsu, jamak diketahui, dari kecil cenderung dimanjakan dibandingkan saudaranya yang lebih tua. Bisa jadi, ketika Mien Uno tampil bersuara saat anaknya diserang tagar #SandiwaraUno, ia masih menggunakan kacamata bahwa ini adalah anak bungsunya.

Dari kacamata sebagai manusia, insting seorang ibu melindungi anak adalah sebuah insting yang sangat dapat dimaklumi. Bahkan ada banyak perumpamaan yang menyebutkan bahwa untuk anak, seekor nyamuk mengisap darah anak pun takkan bisa direlakan oleh seorang ibu. Sebagai gambaran, memang ada keterpautan sangat erat antara ibu dan anak.

Namun lagi-lagi, realitas dihadapi Sandi adalah realitas politik. Branding bagi seorang petarung di dunia politik menjadi sangat penting. Kualitas seorang tokoh pun akan diamati atau bahkan dikuliti habis-habisan oleh calon pemilih. Sebagai orang politik, ia memiliki kebutuhan terhadap keniscayaan berupa kepercayaan banyak orang.

Masalahnya, sekali lagi, di sini ada kesan bahwa seorang ibu yang telah melahirkan, membesarkan sosok Sandi sendiri masih terlihat ragu bahwa putranya tersebut akan mampu menghadapi medan laga sekelas Pilpres. 

Ya, di sisi lain, ada juga kemungkinan bahwa pilihan sikap Mien Uno itu adalah bagian branding. Ia ingin menciptakan kesan kuat bahwa Sandi adalah seorang lelaki yang dekat dengan ibunya, sangat disayang oleh ibunya, sekaligus sangat berharga. Terlepas benar tidaknya, dari sini memang ada potensi mencuri simpati kalangan perempuan, karena di sini Mien Uno  terlihat juga ingin menegaskan itu. 

Namun jika kemungkinan itu yang terjadi, artinya apa yang ditampilkan tak dapat juga sepenuhnya dikatakan itu adalah pembelaan seorang ibu terhadap anaknya semata. Bisa jadi juga ini dilakukan memang bagian dari upaya untuk mengukuhkan branding tadi, bahwa ia ingin Sandi dapat terlihat sebagai figur yang mesti jadi pilihan kaum perempuan.

Terlebih bukan rahasia, bahwa Prabowo Subianto tampaknya memang ingin menjadikan Sandiaga sebagai magnet untuk meraup suara. Terutama suara kaum perempuan, emak-emak, yang selama ini memang acap mereka akui sebagai "lumbung suara" yang tidak bisa diremehkan.

Namun itu hanya kemungkinan, yang memang sangat mungkin di tengah pertarungan politik sekelas Pilpres sebagai kancah yang diikuti oleh Sandi. Walaupun di sisi lain, akan terasa lebih elegan jika seorang petarung lelaki betul-betul berlaga secara jantan. Tidak menyeret sang ibu ke medan pertarungan, karena semestinya seorang ksatria harus menerima sendiri setiap anak panah atau pun tombak yang dapat kapan saja menghujamnya.

Pertanyaannya, apakah Mien Uno sebagai seorang ibu juga sudah mengajarkan sikap ksatria kepada sang putra? Semoga saja sudah, sehingga ia benar-benar bertarung sendiri, dan mengayunkan pedang dengan tangan sendiri. Tidak menjadikan ibu sebagai tameng. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun