Di masa lalu, daerah perbatasan sampai dengan kawasan terpencil kurang atau bahkan hampir sama sekali tidak mendapatkan perhatian. Mereka di sana persis seperti anak tiri yang tidak mendapatkan perhatian selayaknya anak kandung, walaupun mereka di sana sebenarnya juga lahir dari rahim yang sama. Rahim Ibu Pertiwi.
Itu berkelebat di pikiran saya, bagaimana pada dekade-dekade lalu melihat kehidupan di Aceh. Provinsi di ujung Sumatra tersebut jadi bukti bagaimana ketertinggalan di masa lalu. Karena ketertinggalan itu juga, saat itu sempat bermunculan kalimat, "Indonesia cuma Jawa saja."
Bagaimana tidak, saat orang-orang di Jakarta sudah bisa berbicara tentang TV berwarna, di sana bisa menyaksikan TV hitam putih pun sudah terasa sebagai kebanggaan. Ketika orang-orang di kota-kota besar bisa menikmati listrik 24 jam, di sana baru mendapatkan pasokan listrik lebih luas di pertengahan 1990-an.
Anda yang terbiasa hidup di perkotaan mungkin tak pernah terbayang, bagaimana hingga pertengahan 1990-an, orang-orang Aceh sebagian besar hanya bisa menikmati listrik dari pukul 17 sore sampai dengan pukul 06 pagi hari.Â
Bahkan saat itu, petromaks jauh lebih diandalkan, karena akses untuk bisa mendapatkan listrik sangatlah susah.Â
Tak sedikit juga di era itu yang cuma mengandalkan panyoet atau lampu yang dibikin dari kaleng lem bekas, dibolongi, dipasang pentil ban, dengan sumbu dari kain bekas, terisi minyak tanah, dan dibakar semalaman. Pagi hari, begitu bangun tidur, hidung sampai wajah seringkali menghitam, karena asap dari panyoet tersebut terhirup hingga masuk ke liang hidup, mleber sampai muka jika tidak sengaja mengusap hidup saat tidur.
Itu masih terjadi hingga pertengahan 1990-an atau bahkan memasuki akhir dekade tersebut.
Anak-anak mau belajar, entah mengerjakan pekerjaan rumah, atau mengaji di rumah teungku cuma dapat mengandalkan lampu tersebut. Saat ingin menikmati hiburan supaya dapat menonton TV, cuma dapat menunggu hari Minggu. Kenapa? Cuma di hari Minggu, kampung-kampung di sana bisa menikmati listrik lebih leluasa dibandingkan hari biasanya.
Di kawasan Pante Ceureumen, Aceh Barat, kondisi itu bahkan masih terjadi di sebagian besar pedesaan hingga memasuki dekade 2000-an. Berjalan di malam hari cuma dapat mengandalkan obor, karena penerangan jalan pun sama sekali tidak ada.Â
Maka itu, tidak berlebihan jika melihat perkembangan hari ini terkait dengan elektrifikasi atau penerangan, maka hari ini memang sangat pantas disyukuri. Sebab, tangan Pemerintah terlihat sudah jauh lebih panjang, dalam arti sudah mampu menyentuh hingga ke berbagai pelosok, tidak cuma Aceh, tapi juga pedalaman Sumatra lainnya, sampai dengan Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Papua.Â
Secara data pun terbukti bagaimana indeks elektrifikasi yang bersentuhan langsung terhadap kesejahteraan masyarakat banyak. "Pada 2017 (indeks elektrifikasi) 95,3 persen, 2018 kita perkirakan tadinya 97,8 persen tapi realisasi kuartal III itu 98,05 persen," Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan perkembangan listrik terkini di era Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, di pengujung tahun lalu.