Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kala Petani Kembali Bisa Bermimpi

13 Februari 2019   23:57 Diperbarui: 14 Februari 2019   08:53 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di masa lalu, petani bahkan tak berani bermimpi bisa menyekolahkan anak-anak mereka - Foto: Industry.co.id

Ini juga pernah disinggung salah satu anggota DPR RI, Nusyirwan Soejono, yang membeberkan bagaimana di zaman itu swasembada pangan hanya untuk mengikuti selera investor asing yang ingin merangsek ke beberapa industri--termasuk urusan pangan.

Nursyirwan pun mengakui jika di masa itu apa saja mesti lewat dikte Pemerintah. "Jenis padi yang ditanam ditentukan. Pupuk juga ditentukan," katanya. Semua itu tidak lepas dari dikte asing terhadap Pemerintah, sehingga masyarakat seperti petani hanya bisa mengikuti garis ditetapkan Pemerintah.

Maklum, banyak catatan pun memperlihatkan bagaimana Soeharto akhirnya terjerat oleh ketergantungan terhadap asing. Data USAID September 1972 bahkan membeberkan bahwa dalam kurun 1967 hingga 1971, ada 428 investor asing yang masuk. Masuknya investor ini ditengarai terjadi hanya setelah Pemerintah saat itu bersedia mengangguk terhadap keinginan asing.

Terutama dalam kurun 1983 hingga 1997, posisi Pemerintah Orde Baru semakin sulit. Maka itu Pemerintah saat itu makin kental kepentingan investor, sebab sejak Soeharto mengambil keputusan bergabung lagi dengan Badan Dana Internasional (IMF) per 1967, hanya kalangan investor asing yang dapat menjanjikan jalan keluar sementara. 

Petani pun jadi tumbal. Sebab para investor asing itu merangsek hingga ke ranah pertanian lewat pupuk kimia hingga pestisida. 

Inilah yang belakangan mati-matian dilawan oleh Joko Widodo sebagai presiden hari ini. Terlepas ia masih membuka pintu untuk investor, namun terlihat komitmennya agar investor tidak mendikte Pemerintah. Sebab, terlepas nasib petani hari ini tak bisa disulap dalam sekejap, ada niat baik supaya petani tak lagi menjadi tumbal.

Hasilnya pun sudah semakin terlihat. Badan Pusat Statistik bahkan sempat mencatat bahwa di era Pemerintahan Jokowi-JK, Indonesia sempat mencatat surplus beras hingga 2,85 juta ton pada 2018. 

Bahkan pada 2017, Indonesia sempat menunjukkan prestasi dalam hal ekspor pertanian yang meningkat hingga Rp 441 triliun. Dengan angka itu, ada kenaikan hingga 24 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Belakangan, di tengah berbagai gonjang-ganjing, termasuk badai perang dagang yang berlangsung antara raksasa ekonomi dunia pun, Indonesia masih bisa mencatat prestasi. Tercatat, per September 2018, pertanian Indonesia mampu mencatat ekspor hingga Rp 330 triliun.

Bagaimana pengaruh terhadap kesejahteraan para petani sendiri? Dari data BPS  September 2015 tercatat jumlah penduduk miskin di pedesaan sebanyak 17,89 juta jiwa atau 14,09% dan pada September 2016 turun menjadi 17,28 juta jiwa atau 13,96%. Belakangan, per September 2017 turun lagi menjadi 16,31 juta jiwa atau 13,47%.

Itu dikuatkan lagi dengan menurunnya Gini Rasio atau berkurangnya ketimpangan pengeluaran, sebagai bukti semakin meratanya pendapatan petani. Menurut data BPS, sejak Maret 2015 hingga Maret 2017 Gini Rasio pengeluaran masyarakat di pedesaan terus menurun, dari 0,334 pada tahun 2015 menjadi 0,327 pada tahun 2016 dan menurun lagi menjadi 0,302 pada tahun 2017. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun