Tiba-tiba ingatan saya terlempar ke belakang. Tepatnya ke waktu yang sudah berlalu lebih 20 tahun. Bukan apa-apa, karena di masa-masa itulah saya sempat merasakan lumpur sawah, melihat kerbau sebagai andalan untuk membajak sawah. Setelah tanah "masak" atau sudah terbajak sempurna, saat menanam padi pun hanya mengandalkan tangan saja.
Apakah 20 tahun lalu tersebut peralatan seperti traktor belum ada? Sebenarnya sudah. Namun traktor itu sendiri masih terasakan sebagai kemewahan. Pun, kemewahan ini hanya bisa dinikmati sebagian petani. Sebab untuk menyewa pun, mesti menunggu hingga pemilik traktor memastikan secara bergiliran ke berbagai kampung.
Di Jeuram, misalnya. Kota kecil di Aceh ini, sekaligus gampong saya berasal, saat itu cuma bisa bergantung kepada satu-satunya pengusaha traktor Tionghoa bernama Toke Anyi. Ia memiliki beberapa traktor, namun ia harus melayani kebutuhan petani hingga lintas kecamatan. Sementara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya bisa berjarak 50-90 km.
Cukup tergambar bukan, bagaimana kesulitan di zaman itu? Teknologi memang sudah ada, namun untuk bisa memanfaatkan bisa begitu rumit. Boro-boro membayangkan bisa membeli dan memilikinya, hampir mustahil rasanya.
Persoalannya, hanya untuk membeli traktor saja mesti memesan ke Medan, Sumatra Utara. Medan memang menjadi primadona, karena hampir semua kebutuhan masyarakat, termasuk para petani, semuanya hanya tersedia di sana.
Sementara untuk menuju ke Medan sendiri, dari Jeuram, membutuhkan waktu hingga 15-20 jam--belakangan bisa ditempuh 12 jam. Alhasil, cerita untuk bisa bermimpi membeli traktor, kalaupun ada petani yang mampu membelinya, agaknya lebih baik dilupakan saja.
Maka itu, Toke Anyi tadi mencium peluang bisnisnya, dan hampir satu kabupaten--saat itu Kabupaten Aceh Barat belum pemekaran--punya ketergantungan terhadap sosok pengusaha ini. Siapa saja yang membutuhkan traktor, cuma nama Toke Anyi saja yang akhirnya jadi sasaran. Ia terbilang pengusaha yang tidak tergantikan saat itu, karena ia menjadi satu dari sedikit pengusaha yang menyediakan traktor untuk disewakan.
Singkat cerita, dari pemandangan-pemandangan seperti itulah, maka hampir tidak ada petani yang berani bermimpi muluk-muluk. "Buat apa sekolah tinggi-tinggi. Bisa baca tulis saja, sudahlah. Nanti juga anak-anak pasti juga mesti terjun ke sawah," begitulah kalimat yang lazim meluncur dari para petani di gampong-gampong di Aceh.
Namun nada yang mengisyaratkan kecilnya harapan mereka dalam melihat masa depan, pun dialami oleh banyak petani dari berbagai tempat di negeri ini. Hanya dapat mengandalkan ternak untuk menggarap tanah--karena sulitnya mendapatkan teknologi semisal traktor--atau bahkan harus mengolah sawah dengan cangkul saja.Â
Ada gembar-gembor bahwa di era tersebut terdapat swasembada pangan yang acap diklaim sebagai kesuksesan Soeharto. Namun dalam faktanya, apa yang dianggap sebagai prestasi di zaman itu, tidak benar-benar menyentuh para petani.
Sebab klaim swasembada pangan tercapai tersebut tak seindah fakta sebenarnya. Petani sejahtera hanya menjadi cerita yang mengisi laporan TVRI dengan Laporan Khusus, yang memuat kunjungan Soeharto dengan petani. Sedangkan di luar TV, banyak petani bahkan tak berani bermimpi untuk menyekolahkan anak-anaknya.