Jika melihat lagi hasilnya pada 2014 itu, Prabowo tetap tersingkir oleh figur yang dianggapnya jauh lebih lemah: berfisik kurus, dicitrakan buruk
dengan planga-plongo, tidak punya pengalaman panjang di dunia politik, dan bahkan tidak punya partai sendiri.
Sedangkan Prabowo sendiri memiliki kekayaan besar, sumber keuangan besar, dukungan keuangan pun besar. Selain partai sekelas Golkar pun saat itu berada di pihaknya, dan Aburizal Bakrie sebagai "mesin uang" juga berada di pihaknya. Tapi, itu juga terbukti tak bisa mencegahnya untuk menelan kegagalan.
Ironisnya, pengalaman panjang di dunia politik dan kelebihan karena punya partai besar, tak lantas membuat Prabowo dan pendukungnya
menangkap pesan besar: bahwa cara-cara buruk hanya membawa hasil buruk.Â
Apa yang terjadi justru mereka sendiri menjadi bahan tertawaan. Mengira tipuan dan kebohongan akan menjatuhkan lawan, justru membuat mereka sendiri tertipu dan membohongi diri sendiri. Ingat bagaimana mereka bersujud syukur dan tayang di TV nasional, hanya karena hasil hitung cepat kalangan sendiri, justru akhirnya menipu mereka sendiri.
Pengalaman buruk di Pilpres 2014, telah mengerahkan segala cara namun tetap hanya berujung hasil buruk, semestinya Prabowo
bisa menjadi yang paling depan untuk menegaskan cara-cara lebih baik. Sebab ia sendiri sudah melihat langsung bagaimana
langkah politik yang buruk sama sekali tak memberinya hasil yang baik. Uang habis, nama baik sendiri jadi taruhan, dan masyarakat luas pun menjadi korban.
Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyatakan kasus hoax penganiayaan Ratna Sarumpaet memberikan sentimen negatif kepada pasangan Prabowo-Sandi. Melansir Detik.com, hal itu membuat pemilih yang belum menentukan pilihan (swing voters) cenderung memilih pasangan Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin.
"Naiknya sentimen negatif terhadap Prabowo-Sandiaga menyebabkan pemilih yang belum menentukan pilihan cenderung memilih Jokowi-Ma'ruf Amin," kata peneliti LSI Ikrama Masloman. Â
Sejatinya cukup menjadi sinyal, saat ia semakin gigih mengerahkan kekuatan untuk mencari-cari keburukan lawan, sejatinya yang terjadi justru keburukannya sendiri yang semakin terbuka dan menganga. Di mana buktinya? Satu demi satu partai yang dulu dianggapnya sebagai kawan sejalan
kini justru menjauhinya.
Bagaimana dengan koalisi?
Ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang memilih bertahan bersamanya, atau Partai Demokrat (PD), namun alih-alih bisa diharapkan mampu melakukan sesuatu, untuk menjaga stabilitas partai saja mereka tidak mampu. Bagaimana mereka bisa dipercaya mampu mengurus negara jika mengurus partai saja menunjukkan ketidakbecusan.
Menyebut bahwa kubu ini memiliki PD dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai sosok berpengalaman dan telah berkuasa hingga dua periode sebelum Joko Widodo, bukan jaminan. Sebab dari dua periode SBY berkuasa, apa yang paling membekas di benak publik adalah sederet nama orang-orang terdekatnya yang tersangkut korupsi yang merugikan negara.
Rekam jejak buruk pemerintahan SBY pun diungkap dalam buku Jejak Korupsi, Politisi, dan Klan Cikeas yang rilis pada 2014 lalu. Merujuk buku yang dituliskan oleh Jusuf Suroso, ada seabrek korupsi kelas raksasa yang terjadi di masa SBY.