Hoaks itu buruk. Sebab hoaks itu sendiri adalah sebuah bentuk ketidakjujuran. Lugasnya, kebohongan. Tidak akan ada yang membenarkan kebohongan, entah disengaja dilakukan ataupun tidak.Â
Nah, jangankan sebuah negara, bangunan sebuah rumah pun bisa cepat ambruk jika bahan yang digunakan terdiri dari pilihan bahan bangunan yang buruk. Belakangan, sebuah pemandangan yang kian sering muncul adalah ketika ada pihak yang ingin sekali dapat memimpin sebuah negara sekelas Indonesia, namun yang ditampilkan kebohongan bernama hoaks.
Merujuk Britannica tentang hoaks atau Hoax: a falsehood generally intended to fool and to entertain.  Sedangkan Collins Dictionary menerjemahkan hoaks sedikit lebih luas. A hoax is a trick in which someone tells people a lie, for example that there is a bomb somewhere when there is not, or that a picture is genuine when it is not.Â
Hal menggelisahkan belakangan ini, terutama sejak memasuki tahun politik, hoaks demi hoaks pun bermunculan. Terutama, yang dilancarkan oleh kubu pendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, dari hoaks Ratna Sarumpaet hingga surat suara tujuh kontainer.
Walaupun, jika keinginan supaya publik memilih mereka adalah sasaran, apakah tidak ada strategi lain yang dapat menjadi pilihan. Selugu apakah masyarakat ketika kebohongan demi kebohongan disebarkan?
Namun dapat dipahami, hoaks-hoaks ini diproduksi hanya untuk menyasar pihak mana saja yang dianggap menghalangi jalan mereka
untuk berkuasa. Maka itu, serangan-serangan melalui hoaks ini tidak lagi sekadar menyasar petahana Joko Widodo, tetapi juga
melebar hingga ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bahkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Tidak cukup di situ, berbagai institusi pun tak lepas dari serangan-serangan. Tak terkecuali pers, juga pernah jadi sasaran
serangan. Kalap, Kegagalan terus-menerus sepanjang berhadapan dengan kontestasi Pilpres membuat Prabowo kalap. Itulah yang kemudian terlihat dari pilihan strategi dimainkan supaya makin lengket dengan word of mouth, nama mereka kian sering jadi pembicaraan.Â
Perasaan kalap itu juga yang ditularkannya kepada kalangan partainya, hingga kepada partai-partai yang bersedia berkoalisi dengannya. Ibarat prajurit kalap, ketika emosi telah menguasainya, nalar tidak lagi bekerja maksimal, yang terjadi adalah keputusan hasil perasaan kalap yang menguasai. Peluru pun dihambur-hamburkan ke mana saja.
 Sebagai figur yang sejatinya berlatar belakang militer, Prabowo semestinya sangat memahami konsekuensi dari sebuah perasaan kalap. Dengan perasaan kalap dan reaksi seperti ini, yang terjadi adalah habisnya amunisi dan mematikan diri sendiri lebih cepat.
Ini cukup diperlihatkan dari Pilpres 2014 lalu. Jika disimak-simak, peluru fitnah dan hoaks dihamburkan ke mana saja oleh
pendukung Prabowo, sebut saja keberadaan media Obor Rakyat yang berisi banyak informasi keji dan sama sekali tidak berpihak pada fakta sebenarnya.
Obor Rakyat menjadi sebuah bukti dari kebohongan disengaja dilakukan pihak pendukung Prabowo. Tidak membuahkan hasil seperti diharapkan, kecuali sekadar menghadirkan gonjang-ganjing, merebaknya fitnah, hingga masyarakat pun terpecah.