Tahun 1998 menjadi tahun tak terlupakan bagi siapa saja yang menyimak apa yang terjadi  saat itu. Tidak sekadar bahwa di tahun itu Soeharto tumbang, tapi di tahun itu juga, Indonesia pun nyaris tumbang.
Tak ayal tahun itu menjadi contoh terdekat dari bagaimana ketika kebohongan demi kebohongan dibiarkan membudaya, menular, dan menjadi kebiasaan di mana-mana. Sebab apa yang dihasilkan adalah pejabat-pejabat korup, petinggi-petinggi negara rakus, dan kerakusan ini menular ke mana-mana.Â
Potret itulah yang berkelebat di benak saya ketika menyimak pemandangan telanjang dipamerkan salah satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden. Ya, karena kebohongan demi kebohongan yang makin ke sini makin terasa disengaja.
Kesengajaan yang bikin saya merasa yakin, bahwa kebohongan itu tampaknya memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sosok Prabowo dan juga Sandi. Sesuatu yang sangat disayangkan karena kebohongan-kebohongan ini menjadi kebiasaan dari dua figur yang sejatinya sedang di titik sangat menentukan.
Pasalnya mereka adalah calon pemimpin sebuah negara yang sempat lama tenggelam dalam tradisi buruk berupa kecurangan, keculasan, hingga wabah korupsi yang hingga hari ini masih terus diperangi. Bagaimana peperangan terhadap kebusukan itu bisa tetap dilanjutkan untuk menyelamatkan negara, jika misalnya mereka yang melazimkan kebohongan akhirnya sampai memimpin negeri ini.
Dugaan saya, ketakutan disebarkan Prabowo bahwa Indonesia akan punah pada 2030, tampaknya benar. Benar terjadi jika ia sendiri yang memimpin negeri ini. Sebab dengan kebiasaan yang dipamerkannya bersama pasangannya, identik dengan kebohongan, memang rentan membawa negara ini ke jurang kehancuran.Â
Kenapa bisa berpikir begitu? Sebab apa yang pernah terjadi masa lalu, jelas menjadi pelajaran sangat penting untuk negeri ini. Belajar dari masa lalu, terbukti memang bahwa kebohongan yang pernah menjadi budaya itu pernah hampir menumbangkan negeri ini. Kasihan sekali jika pelajaran yang terpampang terang begitu tidak terbaca dengan baik untuk melahirkan sikap lebih baik: menentang dan melawan kebohongan.
Apalagi jika seorang calon pemimpin sudah menunjukkan bagaimana kegemarannya dalam menyebarkan kebohongan hingga berakibat pada lahirnya gonjang-ganjing, kebencian, dan berbagai kebiasaan buruk lainnya di tengah masyarakat banyak. Menjadi bukti, bahwa ia tidak mampu menghadirkan sesuatu yang paling dibutuhkan masyarakat, yakni kedamaian dan ketenangan.
Selain itu, Anda masih ingat saat Prabowo berbicara asal-asalan tentang 99 persen masyarakat hidup pas-pasan? Bahkan ia mengklaim kurang dari 1 persen rakyat di negeri ini yang menikmati kekayaan yang ada di Indonesia.Â
"Yang menikmati kekayaan di Indonesia adalah kurang dari 1 persen bangsa Indonesia dan yang 99 persen mengalami hidup pas-pasan bahkan bisa dikatakan sangat sulit," kata dia, melansir Tempo.
Presiden Joko Widodo akhirnya mempertanyakan klaim Prabowo tersebut. "Ada yang ngomong 99 persen rakyat kita hidup miskin, pas-pasan. Itu 99 persen angka dari mana," kata Jokowi, Sabtu, 10 November 2018.
Tak ketinggalan Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menegaskan bahwa saat ini telah ada sejumlah program khusus untuk penduduk dengan 40 persen terbawah dalam hal kekayaan.
Bahkan, melansir Tempo, intervensi yang dilakukan pemerintah untuk menjawab masalah kemiskinan ada Kartu Indonesia Pintar, Dana Desa, Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat, hingga Bidik Misi.
Segala gonjang-ganjing hingga kebencian dan amarah yang lahir dari kebohongan yang ditebarkan, membuat energi masyarakat tersita hingga mereka tak bisa fokus pada urusan hidup mereka masing-masing. Mereka jadi terseret justru untuk memikirkan urusan seorang calon presiden yang bahkan tidak tahu mau ngapain kalau terpilih--terbukti dari bagaimana urusan visi misi saja pasangan Capres/Cawapres ini masih terlihat kebingungan.Â
Alhasil saat kesusahan mereka alami, alih-alih bisa berkonsentrasi memecahkan masalah hidup mereka, justru terbawa untuk turut larut dalam keluhan demi keluhan.Â
Ya, apa yang dilakukan oleh Capres Prabowo dengan Cawapres Sandi sukses di sini. Mereka sukses menularkan mental pengeluh. Cuma karena di mana saja mereka tampil, apa yang mereka tuju tak lain kecuali menciptakan atmosfer keluhan, kebencian, hingga kemarahan.Â
Padahal kalau membayangkan jika mereka sendiri terpilih jadi presiden, jika mental pengeluh hingga pemarah menular ke mana-mana, mereka pun akan kerepotan. Sebab dengan mental begitu, apa saja dilakukan seorang pemimpin tidak ada artinya.Â
Sebab, masyarakat yang sudah menyatu dengan mental seperti itu, hanya melihat kesalahan dari tiap keadaan ada di tangan siapa yang jadi pemimpin. Mereka tidak akan bisa menemukan ada masalah pada diri mereka pribadi. Apakah mental seperti ini bisa membuat negara ini bisa berubah jauh lebih baik?
Semua tahu, baik Prabowo ataupun Sandi, di luar gonjang-ganjing Pilpres, bukanlah orang-orang yang akrab dengan masyarakat susah. Mereka terkenal sebagai orang yang terbiasa berada di lingkaran elite, orang-orang berlimpah kekayaan, dan orang-orang penting.
Kapan mereka benar-benar terlihat akrab dengan masyarakat kelas bawah, hanya ketika mereka sedang berada di momen menjelang kepentingan politik mereka sedang membutuhkan amunisi untuk menangguk simpati.
Di saat-saat itulah baru mereka sering terlihat berada di pasar-pasar, yang biasanya hanya menjadi tempat yang jadi langganan pembantu rumah tangga yang mereka punya.
Di mana bukti mereka sebenarnya jauh dengan masyarakat kelas bawah? Dari pengakuan Sandi sendiri tentang uang 100 ribu yang cuma cukup untuk bawang dengan cabai. Tentang tempe yang kata dia hanya setipis ATM.Â
Itu adalah kebohongan yang lahir dari ketidakakraban mereka dengan masyarakat kelas bawah. Berbeda jika mereka memang orang yang akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakat yang terbiasa ke pasar, menjalani hidup ala rakyat jelata, kekonyolan itu takkan dipamerkan oleh pasangan yang akan bertarung di Pilpres 2019 tersebut.
Memang dapat dipahami, bahwa pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai realitas, seperti juga kemiskinan yang rajin mereka jual dengan data mengada-ada, diumbar dengan harapan bisa menjatuhkan lawan politik mereka di Pilpres tahun ini: Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma'ruf Amin.
Sudut pandang yang ditegaskan oleh pasangan Prabowo-Sandi cenderung hanya melihat dari kacamata strategi, bahwa terpenting bukanlah soal benar atau tidak, melainkan berpotensi membawa hasil atau tidak.Â
Maka itu kebohongan yang berkali-kali mereka lakukan dari melempar isu utang negara dan kemiskinan dengan sumber data serampangan, hingga yang belum selesai sampai hari ini (kasus Ratna Sarumpaet) di mana Prabowo sendiri memanggil wartawan hanya untuk menyebarluaskan kabar bohong yang lahir dari pengikutnya.
Ditambah lagi dengan isu surat suara yang kabarnya sudah dicoblos sebanyak tujuh kontainer. Lagi-lagi kabar yang belakangan terbukti bohong ini pun datang dari kubu Prabowo-Sandi. Saat kebohongan ini terungkap, lagi-lagi langkah dilakukan mirip Ratna Sarumpaet, tidak mengakui jika itu adalah pendukungnya.Â
Pendukungnya tersebut merasa tidak berdosa dengan apa yang sudah dilakukan itu terlihat memang seirama dengan yang lazim dilakukan Prabowo dan Sandi sendiri.Â
Ya, ini cukup menunjukkan, pemimpin seperti apa yang bisa menciptakan pengikut yang bagaimana. Kegandrungan Prabowo dan Sandi memilih cara-cara kotor berupa kebohongan, dari sekarang saja sudah menularkan wabah kepada pengikutnya. Wabah ini mau ditularkan se-Indonesia maka mereka melazimkan kebohongan ini?Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H