Kristin Samah--yang juga editor buku tersebut--di bab "Jangan Menangis Lagi ..." merekam bagaimana sosok Megawati yang notabene perempuan, dan bagaimana ia memperlihatkan kelebihan perempuan.
"Tidak mudah mengikis ketakutan yang selama masa Orde Baru dibungkam, tak boleh disuarakan," tulis Kristin di sana. Dan, itulah yang diperlihatkan sosok Megawati dalam perjalanannya memperjuangkan partai tersebut.
Hasto yang kini Sekjen PDIP pun tak menampik itu. "Bahkan saat Bu Mega makan di restoran, ia diminta untuk cepat-cepat keluar, hanya karena pemilik restoran takut kepada aparat karena kehadiran beliau di sana," katanya dengan mata berkaca-kaca, saat penulis bersua dengannya, dan ia bercerita bagaimana beratnya perjalanan PDIP saat menjalankan peran sebagai oposisi dan berhadapan dengan kekuatan tangan besi Soeharto.
Kekuatannya tidak cuma terekam dari bagaimana ia tersingkir dari partainya sendiri karena campur tangan pemerintah yang saat itu hanya "ramah" kepada partai yang taat. Tidak juga karena kantor DPP PDI saat itu menjadi sasaran serbuan. Kekuatan itu mampu ia perlihatkan ketika ia memilih untuk tidak dendam.
Itu juga dicatat di buku "Menangis & Tertawa Bersama Rakyat" oleh Osman Sosiawan, jurnalis yang juga pernah mewawancarai Megawati di saat-saat sulit.
"Saya tidak mau terjebak pada persoalan dendam sejarah," kata Megawati, seperti dikutip Osman di artikel bertajuk Menghindari Dendam Sejarah.
Sebab, Mega menegaskan jika ayahnya, Ir. Soekarno mengajarkannya untuk tidak menjadi pendendam. "Bapak (Soekarno) mengajarkan anak-anaknya untuk tidak menjadi pendendam. Kamu harus tahu, rakyatlah yang akan menjadi korban dendam sejarah. Jadi, hubungan kami (dengan Cendana) baik-baik saja."
Di artikel Osman itu juga dijelaskan, alih-alih membeberkan borok-borok Orde Lama, Mega lebih melihat dari sisi sejauh mana nilai dijalankan pendiri negara ini dengan sikap Soeharto.
"Kalau ada yang kurang, mungkin, adalah Pak Harto tidak menjalankan ajaran Bung Karno sesuai Pancasila secara sungguh-sungguh," kata Mega kepada Osman.
Tidak ada cerita panjang lebar bahwa sejak ayahnya terdepak dari istana, sampai tak bisa ke mana-mana, dan anak-anak Bung Karno seperti dia dan adik-adiknya dikucilkan hingga tersisih.
Tidak ada juga cerita dibuat-buat dramatis, mengungkit-ungkit kepahitan luar biasa, walaupun siapa saja yang pernah hidup di era Orde Baru melihat bagaimana sikap pemerintah saat itu terhadap partai dan kadernya.