Sekadar mencuri perhatian publik tampaknya memang sebegitu penting dalam urusan politik. Tak jarang mereka harus melakukan sesuatu trik menyulap segala sesuatu hanya demi terlihat menarik. Inilah yang bikin saya tergelitik, dan memilih mengetik.
Mengetik. Bukan menulis. Sebab alih-alih berpikir keras, saya lebih tertarik pada apa yang terbetik di pikiran yang tergelitik. Bahwa masih ada saja yang meyakini bahwa berbohong secara telanjang menjadi cara yang sangat ampuh untuk membetot perhatian publik.Â
Jadi, saya memilih mengetik apa saja yang terbetik atau sesuatu yang bikin saya tergelitik.Â
Tidak habis pikir, saat orang-orang berusaha melakukan sesuatu yang berbeda untuk mendapatkan hasil yang berbeda, masih ada yang memilih melakukan cara yang sama untuk meraih hasil berbeda.
Ya, sekelebat kalimat itu saya ketik sambil membayangkan telunjuk saya sedang mengarah ke muka sepasang tokoh publik yang tampaknya kian "kebelet" ingin menjadi penguasa. Siapa lagi kalau bukan Pak Bowo dan Pak Sandi. Dua makhluk Tuhan yang makin ke sini makin penuh dagelan.
Lupakan dulu soal kubu-kubuan. Walaupun kalian yang membaca ini ingin sekali menyumpahi saya sebagai cebong atau apalah, tetapi coba lihat lagi, apakah dagelan demi dagelan mereka pamerkan bukan pelecehan?
Pak Bowo ndagel dengan melecehkan nama sebuah rumah sakit dengan menuduh satu alat kesehatan yang semestinya dipakai satu orang justru dipakai puluhan orang. Ia bukan saja melecehkan rumah sakit itu sebagai sebuah korporasi, tetapi juga nalar publik yang ia nodai.
Bagaimana ia tanpa merasa berdosa melemparkan sebuah dugaan asal-asalan dan belakangan diketahui hanya sebuah isapan jempol belaka. Seolah jutaan kepala di republik yang ingin sekali dikuasainya ini hanyalah tong sampah yang pasrah dijejali sampah.Â
Sampah! Apa yang dilemparkannya, mau tidak mau harus dikatakan sebagai sampah! (Maaf, pakai tanda seru, biar sedikit bau-bau gaya pidato Pak Bowo main pukul-pukul meja).Â
Apa ia tidak berpikir bahwa sampah yang dilemparkannya ke kepala masyarakat akan mengotori isi kepala, dan akan banyak isi kepala yang bakal menyampahi negeri yang menurut sesumbarnya ingin dibawa ke arah yang jauh lebih baik ini? Jika isi kepala dipenuhi sampah berselemak di negeri ini, apakah bisa berharap negara ini akan memiliki nama yang harum, seperti ungkapan-ungkapan yang juga sering jadi sesumbarnya?