Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kala 11 Juta Massa Sepi di Media

5 Desember 2018   20:54 Diperbarui: 6 Desember 2018   11:14 4408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media tidak mengabdi kepada penguasa apalagi kepada pemburu kekuasaan - Foto: Tribunnews

Kacamata media dan kacamata pemburu kekuasaan itu berbeda. Maka dalam melihat penting tidaknya sesuatu untuk diangkat sebagai berita, bisa saja tidak sama.

Kira-kira begitulah narasi yang saya angkat menjelang sore ini melalui sebuah cuitan kepada salah satu calon presiden (capres). Pasalnya, ada berita yang mengabarkan bahwa capres ini sangat tersinggung karena begitu besarnya acara bertajuk reuni pada 2 Desember tahun ini malah sangat sedikit digaungkan media.

Singkatnya ada dua hal yang dipandang menjengkelkan oleh Prabowo Subianto. Pertama karena sedikitnya pemberitaan tentang reuni-reunian tersebut, dan kedua karena menurutnya media cenderung mengecilkan jumlah peserta acara itu.

Melansir Tempo.co, Prabowo bahkan sempat berujar bahwa hampir semua media tidak mau meliput sebelas juta lebih orang yang kumpul. Jelas, ada nada kegeraman di sana, hingga Tempo sendiri merilis berita itu dengan judul, "Geram Pemberitaan Reuni 212, Prabowo Omeli Media dan Jurnalis." Sebuah judul yang memang dapat dibilang nyelekit. 

Bagi seorang Prabowo yang notabene sebagai seorang capres, acara yang dihadiri banyak orang itu adalah sebuah berita besar yang semestinya diberitakan besar-besaran. Namun ia juga terkesan tak menggubris, seberapa besar manfaat dari pemberitaan besar terhadap acara seperti ini?

Ia berharap agar media pun memiliki sudut pandang yang sama dengannya. Jika ia merasa suatu peristiwa adalah penting, maka media pun harus melihatnya sebagai sesuatu yang penting. 

Di pihak lain, dalam kasus ini terlihat kalangan media dan jurnalis cenderung pada prinsip sendiri, "Apa yang penting bagi Anda, belum tentu penting bagi kami." Terlebih lagi jika melihat bahwa media hanya mengabdi kepada publik, maka apa yang dipandang penting oleh seseorang belum tentu penting bagi publik.

Kecuali sepakat menuding media hanya mengabdi kepada pendapatan saja. Tentunya semua hal menghebohkan, dan itu dinilai sebagai sesuatu yang penting, katakanlah, oleh seorang tokoh kaya raya, bisa jadi media pun akan mengikuti begitu saja. Namun ini tentu saja sebuah sudut pandang keji juga.

Sebab terlepas sebuah media memang membutuhkan sumber uang agar industri tersebut tetap bisa berjalan, bisa menggaji karyawan, dan menghidupi wartawan, namun media tentu saja tidaklah mengabdi ke sana.

Sebab mengacu pada UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers, cukup menjelaskan seperti apa pers sebenarnya. Di sana dijelaskan bahwa pers adalah lembaga sosial. Di sisi lain, pers juga disebut sebagai wahana komunikasi massa. Terkait kegiatan pers, masih di UU yang sama pun ditegaskan bahwa pekerjaan mereka adalah mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. 

Informasi itu sendiri, mengacu ke UU tersebut, bisa berbentuk tulisan, suara, gambar, hingga suara dan gambar sekaligus. Termasuk di sana data dan grafik. Di samping juga ada prinsip bahwa pers memiliki prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Sementara jika mengacu kepada para pakar media dunia sekelas George Fox Mott, penulis New Survey of Journalism, cukup tegas menunjukkan bahwa apa yang menjadi ciri khas pers adalah pelayanan kepada masyarakat luas. Pers juga menjadi penghubung masyarakat dengan suatu informasi. Ringkasnya, terlepas ada keperluan industri di sana, namun masyarakat sajalah yang menjadi prioritas.

Sementara dalam kaitan dengan reuni yang baru berlangsung di awal Desember ini, memang sangat kental dengan kepentingan politik dan golongan. Siapa yang paling berkepentingan, tentu saja adalah kalangan politik yang berperan di dalam acara itu sendiri.

Persoalannya, hubungan mereka dengan kalangan pers pun terbilang buruk. Masih ingat bagaimana seorang reporter salah satu TV swasta yang sedang menyampaikan laporan persnya diusik hingga diteriaki di acara yang persis sama? Atau, kali lain bagaimana Prabowo juga pernah memfilter mana saja media yang boleh dan tidak boleh meliputnya? 

Bahkan belum lekang di benak banyak pekerja media alias jurnalis, bagaimana seorang Prabowo melecehkan wartawan dengan menyebut mereka untuk berbelanja ke mal pun tak punya duit.

Itu memperlihatkan bagaimana Prabowo dan kubu politiknya dalam membangun hubungan dengan media. Namun dengan sedikitnya pemberitaan seputar acara yang dianggap pihaknya sebagai acara penting, tak bisa juga dituding sebagai efek balas dendam atas sikapnya dan kelompoknya terhadap pers. Walaupun, juga merupakan hal manusiawi jika insan pers pun merasa perlu berhati-hati untuk keselamatan mereka.

Juga tak bisa juga melemparkan tudingan bahwa pers sudah menjadi abdi penguasa. Sebab jika dihitung-hitung pemberitaan yang bermunculan sehari-hari pun tak melulu memberitakan seputar penguasa. Sebab media tidak meletakkan penguasa di atas masyarakat luas.

Toh dari masa lalu pun terbukti, bagaimana di tengah kuatnya Orde Baru, beberapa media tetap menolak untuk tunduk kepada penguasa. Media sekelas Kompas dan Tempo pun sempat diposisikan sebagai lawan, terlepas di sini hanya satu dari dua media bermarkas di Palmerah itu yang sempat benar-benar dilibas rezim mertua Prabowo sendiri.

Jika mengatakan bahwa pers menjadi luluh jika berhadapan dengan kekuatan rezim atau suntikan uang. Kurang kuat apa rezim sekelas Orde Baru dengan ikon seorang Soeharto? Kurang apa dalam hal keuangan ketika roda ekonomi lebih banyak berputar di lingkaran Soeharto dan keluarganya? 

Namun sejarah di negeri ini cukup membuktikan, bahwa terlepas memang ada sebagian media atau jurnalis memiliki keberpihakan, namun keberpihakan yang sebenarnya dari pers adalah terhadap kepentingan publik atau masyarakat luas.

Bahwa penguasa memiliki kekuasaan, namun rekam jejak sejarah cukup membuktikan bahwa media dan pers tidak akan mengabdi apalagi menyembah kepada penguasa. Mereka tetap menunjukkan pekerjaan mereka sebagaimana mestinya. 

Toh, media seperti Kompas hingga Metro TV yang acap dituding sebagai corong pemerintah, jika mau melihat dengan jernih sering juga mereka memuat berita yang berisikan kritikan terhadap rezim. 

Maka itu, saya pribadi yang notabene juga memiliki rekam jejak sebagai pekerja media, sangat menyayangkan jika seorang capres seperti Prabowo bahkan belum mampu mendudukkan media dan pers sebagaimana mestinya. 

Ia belum bisa adil dalam memposisikan media dan pers di tengah pertarungan politik. Ia masih beranggapan bahwa dirinya sedang bertarung, maka media pun harus mau ikut terjun dan bertarung.

Padahal pertarungannya di dunia politik bukanlah pertarungan yang harus diikuti oleh semua media. Media hanya bertarung untuk menjalankan perannya sebagaimana pers seharusnya, yang juga mengikuti UU yang menjadi kompas bagi mereka. Bahwa pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, seperti diatur di Ayat 1 Pasal 3 UU No 40 Tahun 1999.

Kenapa media tidak habis-habis mem-blow up reuni tersebut? Bukankah masyarakat pun membutuhkan informasi, seperti diatur UU disebutkan tadi? Masalahnya apakah isi dari acara itu sendiri memang penting bagi masyarakat luas?

Sebab ada persoalan serius dari acara itu sendiri adalah siapa membicarakan apa. Narasi dimainkan di sana dapat dikatakan banyak berisikan ajakan untuk membenci lawan politiknya. 

Figur-figur yang ditampilkan berbicara cenderung berperan sebagai aktor untuk memainkan emosi dan kebencian ribuan orang yang datang. Tentu saja, menyebarkan emosi dan kebencian bukanlah pekerjaan pers. Kecuali jika Prabowo masih ingin mengandalkan media sendiri, seperti Obor Rakyat, misalnya.

Jika itu medianya, maka ia mau mengumumkan kepada dunia bahwa yang hadir di acara reuni-reunian itu sampai 11 juta pun bisa jadi takkan mengundang tawa. Bahwa reuni itu harus diangkat hingga ia sujud syukur lagi di Pilpres mendatang meski belum tahu hasil pastinya, pun bukan persoalan.

Berharap media lain akan begitu saja mengekor kepadanya, tentu saja tidak bisa. Bahkan jika ia jadi penguasa pun media tetap bekerja dengan caranya. Bukan cara diinginkan penguasa, apalagi keinginan orang yang sekadar ingin berkuasa. Oh, tidak bisa.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun