Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saat SBY Merasa Perlu Menjewer Prabowo

20 November 2018   08:37 Diperbarui: 20 November 2018   09:01 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY adalah pemilik catatan dua kali menang Pilpres, dan memang pantas diperhitungkan siapa saja - Foto: Pos Kupang

"Saya pernah 2 kali jadi Calon Presiden. Saya tak pernah menyalahkan dan memaksa Ketum partai-partai pendukung untuk kampanyekan saya."

Sederet kalimat itu adalah kalimat dilontarkan Susilo Bambang Yudhoyono, sosok yang menduduki kursi presiden selama 10 tahun sebelum digantikan oleh Joko Widodo (Jokowi). 

Tentu saja, kalimat itu bukanlah kalimat yang ditujukan kepada Jokowi. Melainkan, itu adalah kalimat yang tertuju untuk Prabowo Subianto dan lingkarannya yang masih berambisi besar menyingkirkan Jokowi dari kursi presiden.

Kalimat itu hanya tertuang di linimasa twitter. Namun karena nama SBY, kalimat itu tidak lagi sekadar pengisi linimasa. Namun juga mewakili keseriusan dan keprihatinan seorang mantan presiden yang memang pernah dua kali bertarung di Pilpres dan dua-duanya mampu dimenangkannya.

Semestinya, dengan pengalamannya itu, SBY bisa mendapatkan tempat khusus di kubu Prabowo. Namun di sini Prabowo sendiri dikeroyok oleh Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera, hingga nyaris melupakan bagaimana seharusnya bersikap di depan sosok yang secara faktual memang sudah dua kali "menjuarai" kontestasi bernama Pilpres.

Ada kecenderungan Gerindra dan Prabowo sendiri, hanya sesama orang yang kalah maka semangat untuk menang akan lebih tinggi. Jadilah Prabowo "dimabuk asmara" dengan dua kelompok yang memang paling berpengalaman menelan kekalahan dan tak pernah jera dengan kekalahan.

Bisa jadi, bersama PAN dan PKS, Prabowo merasa menemukan sahabat sejati yang sama-sama punya pengalaman bagaimana terluka, bagaimana tersingkir, dan bagaimana bisa saling menghibur saat sama-sama menjadi pecundang. SBY tentu saja takkan bisa merasakan bagaimana dalamnya luka-luka mereka dari pertempuran yang selalu berujung kekalahan.

Bagaimana tidak, SBY hanya sebentar mendirikan partai, tak butuh lama sudah membuat partainya melejit, hingga dua periode mampu bikin partai-partai kaya pengalaman sekelas Golkar, PDIP, dan PPP hanya menjadi pelengkap cerita. Ia sendiri dua periode menjadi presiden.

Artinya, ada riwayat sebagai pemenang yang menghiasi rekam jejak SBY dan Partai Demokrat yang didirikannya. Kontras dengan Gerindra, PAN, dan PKS, yang rajin menjadi penantang partai-partai besar, namun hanya menjadi pelanggan kekalahan demi kekalahan. Di sinilah, tampaknya ketiga partai disebut terakhir akhirnya terpaksa menempatkan SBY dan Demokrat di posisi sebagai partai yang takkan benar-benar mampu memahami bagaimana perasaan mereka.

Di sinilah, saat SBY acap dituding sebagai tokoh yang baper, akhirnya justru tiga partai pelanggan kekalahan tadi lebih bersahabat dengan mental baper. Bagaimana tidak, saat semestinya mereka bisa menunjukkan sikap, pikiran, dan sudut pandang yang lebih baik daripada lawan meereka, justru mereka larut ke dalam kebaperan, hingga menjadi reaksioner, dan menjauhkan mereka dari cara bermain yang lebih cantik.

Inilah yang membuat SBY muncul dan memunculkan pernyataan yang mengisyaratkan, "Elu-elu semua nyatanya lebih baper dari gue!"

Pernyataan SBY dengan menyebutkan bagaimana dua periode Pilpres pernah dijalaninya (dan selalu dimenangkan), cukup untuk membuka mata mereka di koalisinya tersebut. Sayangnya, karena akhirnya sejawatnya di koalisi tersebut belakangan memang semakin terlihat baper dibandingkan dirinya, maka mereka akhirnya secara malu-malu "menyingkirkan" SBY dan Demokrat.

Sebagai orang yang berkarier di militer dan mampu mencapai puncak kariernya sebagai jenderal--sesuatu yang faktual tidak terjangkau oleh Prabowo--SBY tentu saja merasa lebih kredibel untuk melihat dan berbicara, juga untuk menunjukkan bahwa ia bukan tak mampu mencium gelagat-gelagat yang ada. Inilah yang juga ditegaskannya lewat pernyataan-pernyataan di twitter tersebut.

Maka itu belakangan muncul lagi pernyataan bahwa SBY dan Demokrat baru akan sepenuhnya turun tangan di bulan Maret tahun depan, atau di detik-detik terakhir menjelang Pilpres 2019. 

Jika ditilik, satu sisi penegasan teranyar ini memang menjadi sebuah sikap "superior" dari sebuah partai yang memang berpengalaman dalam memenangkan kontestasi sekelas Pilpres. Di sisi lain, juga menjadi "jeweran" dari seorang pemenang terhadap orang-orang yang hanya berambisi untuk menang, namun malas untuk bekerja. 

Bagaimana tidak dikatakan malas, jika Prabowo sendiri lebih banyak bermain di "istana" dimilikinya, dan hanya muncul sesekali ke publik. Sedangkan yang dikerahkan hanyalah orang-orang yang hanya menjadi "tim hore" dari Ratna Sarumpaet hingga Fadli Zon yang lebih banyak melahirkan lawakan hingga berujung tertawaan alih-alih membuat rakyat berpikir dan menimbang bahwa jagoan mereka pantas dipilih.

Ringkasnya, di sinilah SBY menjewer seorang jenderal tanggung bernama Prabowo. Bahwa jika Anda ingin berkuasa untuk rakyat, jangan terlalu sibuk tidur di istana sendiri sambil berkhayal dapat menguasai istana negara. Sebab, mau tak mau harus diakui, hanya Joko Widodo yang acap dituding planga-plongo yang lebih sering turun ke tengah rakyat, meninggalkan istananya untuk meyakinkan rakyat bahwa dia bertarung bukanlah untuk istana itu, melainkan untuk rakyat.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun