Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan Sekadar Cerita Pelecehan Boyolali

6 November 2018   15:48 Diperbarui: 6 November 2018   16:10 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Boyolali bersuara karena panggilan harga diri - Gbr: Tribunnews

Pemandangan menarik dipamerkan kubu salah satu calon presiden (capres). Berawal dari pelecehan terhadap warga Boyolali, bersambut dengan unjuk rasa warga salah satu kabupaten di Jawa Tengah tersebut. Belakangan, justru bupati setempat yang dipolisikan oleh pendukung capres tersebut.

Menarik, lantaran ada kesan bahwa para pendukung capres tersebut melihat masalah satu orang jauh lebih penting daripada ratusan ribu orang. Satu orang tersebut adalah Prabowo Subianto yang dikabarkan jadi sasaran pisuhan dari bupati setempat dengan pelabelan salah satu hewan peliharaan. Ratusan ribu orang lainnya adalah warga Boyolali sendiri.

Ironis, karena di sini seorang pemimpin yang sedang membela warganya--Bupati Seno Samodro--disoal karena kata-kata pisuhan yang di kalangan masyarakat setempat hanya ungkapan penanda kesetaraan. Saat jengkel, kata itu keluar. Ketika marah, kata-kata itu juga keluar. 

Itu juga kenapa Seno Samodro sebagai bupati setempat meluapkan kejengkelannya hingga keluar kata-kata tersebut.

Tak kalah menariknya lagi, kubu capres tersebut melihat kata-kata Seno Samodro sebagai kata-kata penghinaan serius. Namun mereka sendiri terkesan berusaha menutupi bagaimana besarnya penghinaan dilakukan capres yang mereka usung.

Padahal jika ingin menelusuri lebih jauh, ketika capres tersebut mengeluarkan kelakar bernada penghinaan, maka yang menjadi sasaran tersebut mencakup para orang tua masyarakat setempat, leluhur mereka, dan orang-orang yang mereka hormati. Sebab faktanya, siapa saja yang lahir di Boyolali, atau terlahir dari keturunan kabupaten tersebut, maka mereka adalah "Wong Boyolali". 

Di sana ada leluhur, sesepuh, orang-orang dihormati oleh ratusan ribu warga Boyolali. Maka itu ketika penghinaan terarah kepada "wajah Boyolali" maka itu adalah penghinaan yang tidak bisa dikatakan ringan. 

Kalau kemudian bupati setempat meluapkan kejengkelan dengan kata "*su", terlepas ini janggal di kuping orang luar, namun bagi masyarakat di sana, itu merupakan hal yang lumrah. Bukan persoalan besar.

Namun yang terjadi, para pendukung capres ini justru membesar-besarkan pisuhan Bupati Seno, dan menggulirkan sudut pandang bahwa apa yang diungkapkan Prabowo sendiri hanyalah kelakar. Sekadar candaan.

Masygul. 

Pola pikir kubu capres ini, hemat saya, sama sekali tidak mengedukasi, terutama tentang bagaimana melihat secara adil.

Padahal, jika mereka memang menginginkan bahwa penghinaan yang dilakukan oleh Prabowo terhadap orang Boyolali tidak dipersoalkan, semestinya mereka pun bisa menunjukkan jiwa besar saat orang Boyolali menunjukkan sikap mereka. 

Tidak mengedukasi, karena mereka menyepelekan kesalahan sendiri, dan begitu serius dengan kesalahan pihak lain. Terlepas ungkapan pisuhan Bupati Seno itu sendiri lahir karena dipicu oleh ketidakpekaan seorang tokoh yang terkenal paling ambisius menjadi presiden.

Bupati Seno hanya bereaksi, karena ada perasaan terluka warganya dan dirinya sendiri sebagai orang Boyolali. Ia meluapkan perasaan terlukanya dengan kata tersebut. Ini justru dipersoalkan Gerindra dan kawan-kawan yang berada di kubu pendukung capres tersebut.

Terlepas urusan copras-capres,  di sini Prabowo sendiri dan kubu pendukungnya gagal melihat fenomena itu dalam kacamata lebih baik. Bahwa persoalan nama daerah juga merupakan persoalan harga diri, persoalan nama baik, dan kehormatan mereka sebagai masyarakat yang hidup turun temurun di daerah tersebut.

Alih-alih mengakui kesalahan dan berusaha memulihkan perasaan kecewa dan terlukanya warga Boyolali, kubu tersebut justru memilih kembali ofensif dan menjadikan Bupati Boyolali sebagai sasaran serangan.

Ada gelagat, kubu capres ini hanya berusaha menjadikan mereka tetap menjadi buah bibir, terlepas baik tidaknya apa yang dibicarakan tentang mereka. Toh, jikapun ada narasi negatif terlempar ke arah mereka, itu masih bisa disikapi dengan memelintir atau mem-brainwash publik. Terpenting, publik memberikan perhatian lebih dulu kepada mereka yang jauh lebih mementingkan urusan Pilpres 2019 daripada apa saja.

Bahwa dalam kasus Boyolali ada urusan kehormatan ratusan ribu orang, ada harga diri banyak orang, pun akhirnya tak lagi dilihat sebagai persoalan. Maka itu saat protes warga setempat bermunculan, alih-alih meredakan dengan cara bersahabat, mereka merespons dengan narasi-narasi yang mengukuhkan arogansi mereka.

Di sinilah semakin kental pesan bahwa capres mereka tersebut jauh lebih penting daripada siapa saja. Nama capres ini jauh lebih penting daripada nama ratusan ribu orang yang dari lahir dan mati mereka kelak akan berstatus sebagai orang Boyolali. 

Mereka yang menjadi elite di kubu tersebut menempatkan capres ini di atas ratusan ribu orang, dan ini setidaknya tercium dari bagaimana mereka memainkan narasi ketika menghadapi protes masyarakat Boyolali dan kemarahan yang diwakili bupati mereka.

Tidak terlihat ada empati mereka atas perasaan luka warga kabupaten tersebut. Tidak tercium penyesalan atau pengakuan bahwa mereka bersalah telah meremehkan ratusan ribu orang. Yang menonjol, mereka berusaha agar tak ada yang menghakimi bahwa mereka bersalah, karena mulut calon presiden yang mereka usung yang memang salah kaprah.

Padahal, jika mau melihat lebih jauh, dari kasus Boyolali ini jadi semakin meyakinkan banyak orang bagaimana kubu capres ini dalam melihat harga diri dan kehormatan masyarakat. Tidak lebih penting daripada satu orang yang sudah mereka nabikan sebegitu rupa, yakni capres mereka sendiri.

Idealnya, masyarakat tetap jauh lebih penting. Sebab dalam memilih pemimpin pun dilakukan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Jika satu calon pemimpin tak mampu menghargai masyarakatnya, sulit berharap ia akan lebih mampu menghargainya lebih baik jika sudah memimpin.

Di sini, saya kira, pihak pendukung Prabowo Subianto perlu menyatakan maaf secara terbuka kepada warga Boyolali. Berhenti menambah riak yang hanya memperpanjang kekisruhan. Sebab lagi-lagi di sini adalah masalah harga diri dan kehormatan mereka yang ke mana saja takkan menanggalkan identitas mereka sebagai orang Boyolali.

Lebih jauh, itu juga akan berdampak bagus agar Pilpres 2019 tak lagi dikotori oleh sentimen-sentimen buruk, yang dapat menjadi catatan hitam dalam berdemokrasi. Perjalanan demokrasi bisa berjalan baik di jalanan yang baik, dan dengan jalan yang baik, agar kelak Pilpres 2019 pun telepas siapa kalah dan menang dapat membawa hasil terbaik untuk masyarakat di negeri ini.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun