Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Dari Bali, Dua Hari untuk Bahari Lestari

2 November 2018   00:25 Diperbarui: 2 November 2018   00:45 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trio menteri yang menggawangi OOC 2018 - Dok: KKP

"Kita tahu bahwa daratan adalah raja, tetapi lautan adalah ratu. Dan, kita semua tahu bahwa dalam permainan catur, ratu adalah yang terkuat." (Luhut Pandjaitan, di Our Ocean Conference 2018). 

Meskipun hanya berlangsung dua hari, namun andil Indonesia di Konferensi Kelautan 2018 atau Our Ocean Conference 2018, bisa saja memberikan kebanggaan bertahun-tahun. Tidak hanya karena telah menjadi bagian sejarah penting dalam pengelolaan laut, tetapi juga dampak dilahirkan dari sana.

Satu sisi kita pantas bangga. Di sisi lain ada yang lebih pantas dibanggakan, karena Indonesia bisa menjadi motor di Asia untuk isu-isu global yang sangat diseriusi oleh negara-negara di dunia.

Sebab, salah satu hasil dari pertemuan tahunan itu kali ini adalah lahirnya kesepakatan untuk serempak menegakkan komitmen membersihkan lautan dari pencemaran akibat sampah plastik. 

Menjadi istimewa karena kesepakatan ini melibatkan perwakilan dari 143 negara terlepas acara ini hanya berlangsung selama dua hari, pada 29-30 Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali.

Kenapa persoalan kebersihan laut menjadi perihal sangat penting sebagai hasil dari kegiatan ini tak lain karena dari sampah plastik saja bisa berakibat pada terjadinya seabrek masalah. 

Ini juga yang sempat disinggung Kemenko Kemaritiman Luhut Pandjaitan, saat berbicara khusus pengaruh pencemaran laut terhadap masalah stunting alias tidak tercukupinya gizi untuk seorang anak bisa tumbuh sebagaimana mestinya. Persoalan ini diangkat secara khusus oleh Luhut Pandjaitan di hari terakhir OOC 2018, Selasa (30/10), di sesi khusus Breakfast Meeting on Combating Marine Plastic Debris.

Persoalan stunting itu sendiri tidak saja berpengaruh kepada fisik yang tidak tumbuh ideal, namun juga bisa berdampak pada inteligensi anak. Maka itu, jika masalah ini tidak diseriusi, dapat dibayangkan bagaimana dampak lebih jauh terhadap negeri ini sendiri.

"Stunting memang terdengar seperti biasa saja, tapi itu berbahaya. Bisa mengancam generasi muda Indonesia," kata Luhut Pandjaitan.

Menurutnya, persoalan stunting ini akan sangat terasa bagi negara-negara yang masuk kategori negara dunia ketiga alias negara berkembang. Berbeda dengan negara maju, yang bisa jadi takkan terlalu merasakan dampak dari stunting tersebut. 

"Bagi negara maju, stunting mungkin tidak akan terasa, tapi bagi kita di negara berkembang, itu akan berdampak sekali," kata Menko Luhut, yang menegaskan bahwa itu adalah ancaman serius bagi negara-negara berkembang.

Trio menteri yang menggawangi OOC 2018 - Dok: KKP
Trio menteri yang menggawangi OOC 2018 - Dok: KKP
Itu juga alasannya kenapa sangat bersikukuh agar persoalan ini bisa dilihat sebagai masalah bersama, terutama bagi negara-negara yang sama-sama berstatus negara berkembang.

Menurutnya komitmen dari sesama negara berkembang, selain juga support dari negara maju sangat penting. "Sangat penting bagi kami untuk memperoleh dukungan dan sinergi berbagai kerja sama. Terutama dalam pengelolaan sampah plastik di laut yang sejalan dengan kebijakan--yang juga diambil pemerintah Indonesia," kata Luhut lebih jauh.

Hasilnya, salah satu perusahaan swasta dunia, SC Johnson, menegaskan komitmen mereka untuk menggunakan plastik lama dalam kemasan baru melalui sistem daur ulang. Bahkan ini ditegaskan sendiri oleh Fisk Johnson yang notabene merupakan direktur eksekutif di perusahaan tersebut. Sebab pihaknya pun tak menampik bahwa sampah plastik sudah berada di batas tertinggi.

"Mencapai delapan juta metrik ton setiap tahun," kata Fisk Johnson. "Ini setara satu truk sampah per menit yang dibuang ke dalam laut."

Sebuah persoalan serius di lautan - Gbr: sampahmuda.com
Sebuah persoalan serius di lautan - Gbr: sampahmuda.com
Selain itu, Coca-cola pun menunjukkan  komitmen global bernama World Without Waste. Mereka menargetkan 50% kemasan produknya menggunakan bahan daur ulang pada 2025. 

Tidak berhenti di situ, Coca-cola juga menargetkan pada 2030, seluruh kemasan mereka gunakan hanya yang bisa didaur ulang. Disebut sebagai komitmen global karena komitmen ini memang dilakukan secara global di negara mana saja terdapat sayap Coca-cola.

Terlihat, dukungan terhadap misi penyelamatan laut yang digagas dari OOC 2018 memang menunjukkan gelagat positif sejak awal. Terbukti, banyak negara maju pun tak menunggu lama untuk membuktikan bahwa mereka punya komitmen sekaligus concern pada isu-isu kelautan dan kemaritiman.

Sebut saja Uni Eropa, bahkan tercatat sebagai pihak yang langsung menunjukkan dukungan konkret, menggelontorkan dana tidak kurang dari 300 juta euro untuk misi memastikan laut terlindungi. Selain, mereka juga menegaskan harapan agar dana tersebut dapat dipakai secara maksimal untuk menciptakan kondisi laut yang bersih dan sehat, di samping juga aman.

Tidak hanya Uni Eropa, organisasi seperti Trash Free Seas Alliance (TSA) pun turut mengucurkan dana hingga 100 juta dolar AS yang khusus ditujukan untuk melawan polusi sampah plastik. 

Tak ketinggalan juga Circulate Capital yang mendonasikan 90 juta dolar AS untuk penanganan sampah plastik di laut karena mengakui bahwa lautan kini kian terancam. Mereka juga tak menampik jika saat ini kondisi lautan dapat dikatakan telah mengalami kerusakan parah akibat pencemaran sampah plastik. 

Gerak cepat diperlihatkan organisasi-organisasi itu memang tidak lepas dari bagaimana sudut pandang mereka dalam melihat urgennya persoalan kelautan. 

"Kondisi lautan kita dalam kondisi mendesak," kata Federica Mogherini, Wakil Presiden Uni Eropa. "(Kondisi ini) membutuhkan aksi dunia yang tegas. Tidak ada negara manapun yang berhasil melakukan pembersihan dan pengawalan laut tanpa adanya kerja keras dari semua negara."

Gerak cepat ini juga menurut Direktur TSA Nick Mallos sangat dibutuhkan, terutama untuk dapat mengurangi sampah plastik hingga bagaimana mendaur ulang plastik yang sudah ada. 

Ia juga menyarankan agar produsen berbagai produk yang berbahan dasar plastik perlu mendesain kembali kemasannya dan hanya memanfaatkan bahan plastik yang sudah pernah dipakai.

Sebagai catatan pernyataan perang terhadap sampah plastik ini sendiri pun pada 2017 lalu juga diusung pada Konferensi East Asia Summit (EAS) yang juga berlangsung di Bali. Konferensi ini sendiri melibatkan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, selain juga Amerika Serikat, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, RRT, Rusia, dan Selandia Baru.

Setelah konferensi itu sendiri, Indonesia melahirkan kebijakan berupa Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia.  Selain itu, setelah EAS 2017 lalu, Indonesia juga melahirkan National Plan of Action on Marine Plastic Debris 2017-2025. Di samping, juga ada campaign bertajuk Combating Marine Plastic Debris dan Reduction Plastic Bag Production and Use. 

Semoga saja, dengan sederet bukti komitmen Indonesia, juga dapat menggugah negara-negara lain yang tahun ini hadir di OOC 2018 untuk juga seiya-sekata dalam menanggulangi masalah-masalah laut.***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun