Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ribut-ribut Politik dan Figur Publik Tak Lagi Mendidik

16 Oktober 2018   09:49 Diperbarui: 16 Oktober 2018   12:24 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

My role in society, or any artist's or poet's role, is to try and express what we all feel. Not to tell people how to feel. Not as a preacher, not as a leader, but as a reflection of us all ( John Lennon).

Sadar tidak sadar, ada banyak figur publik yang akhirnya bercokol di pikiran publik, di pikiran saya dan juga Anda. Namun jika memilih untuk sadar, figur-figur publik ini ada yang mampu meninggalkan motivasi baik, dan tak sedikit yang hanya merangsang Anda untuk tak perlu memusingkan baik tidaknya.

Simak saja bagaimana getolnya berbagai media hingga sosial media menjejali kita dengan "celotehan" begitu banyak figur publik. Tidak peduli apakah figur-figur ini adalah "kubu saya" atau "kubu Anda". Sebagian bisa kita nikmati, sebagian mampu memberi edukasi, dan sebagian lain hanya memancing emosi.

Persoalannya ketika ada figur publik yang hanya muncul ke publik untuk memantik emosi. Terutama, tentu saja, adalah emosi negatif, yang hanya membuat kita sebagai, katakanlah, pemuja mereka melulu hanya tergerak untuk berpikir negatif. 

Percaya tidak percaya, tidak ada kepala yang dipenuhi pikiran negatif bisa melahirkan hasil positif. Sebab, seorang dokter pun di tengah kondisi negatif pun lebih dulu memacu diri mereka berpikir positif, melihat dengan positif, menelaah dengan baik, dan melakukan tindakan positif. Bahwa tidak semua dokter bisa memastikan hasil positif, setidaknya dengan pikiran positif mereka, banyak kondisi negatif bisa berubah jadi positif.

Itu hanya semacam tamsilan saja. Sebab kita yang cuma masyarakat biasa pun tak akan bisa lepas dari keharusan memilih untuk mencari hal positif, atau membiarkan diri sendiri untuk memilih berpikir negatif hingga segala hal negatif tak lagi hanya di kepala, melainkan menjadi kenyataan. Bukan rahasia jika apa yang ada di pikiran hanya menjadi pelontar untuk menjadikan sesuatu di dalam pikiran itu menjadi sebuah kenyataan.

Hari ini anda akan dengan mudah menemukan figur-figur publik yang saban hari tampil di TV yang Anda tonton, di koran yang Anda baca, atau media sosial yang akrab dengan Anda. Di sini kita acap tidak jernih, apa sebenarnya yang mereka lempar. Apakah mereka lebih banyak memberikan Anda inspirasi baik, atau hanya mengundang Anda untuk mencela, mengumpat, mengeluh, dan memantik permusuhan.

Di media sosial, jika yang Anda dapati dari satu akun hanyalah hal-hal negatif, lebih baik Anda pertimbangkan untuk memblokir atau unfollow saja. Atau, jika tidak enak, karena seseorang itu adalah teman Anda, bisa di-mute. Bahkan di akun-akun pribadi saya, terutama di media sosial twitter, beberapa kali saya justru memilih untuk menganjurkan untuk unfollow jika cuitan saya lebih banyak negatif. Bedanya, saya bukan figur publik, kecuali sekadar rajin ngoceh di depan publik lewat media sosial saja.

Kenapa perlu mengambil langkah itu, tak lain karena pikiran kita itu toh bekerja dengan referensi yang bisa kita dapat. Jika referensinya hanya figur-figur publik yang cerewet di media, sementara kita masuk kategori pemalas untuk mau membaca, sama saja dengan meracuni pikiran sendiri. Selayaknya racun, ia akan membunuh, dan membunuh pikiran bisa saja lebih buruk dari kematian yang sebenarnya. 

Saya pribadi, dalam bermedia sosial, lebih banyak memilih untuk mem-follow orang-orang yang saya yakini bisa memberikan pencerahan hingga ajakan untuk berpikir lebih baik, berpikir lebih jernih, dan bertindak lebih baik.

Hampir tak pernah saya memblokir orang berpikiran berbeda, sepanjang dalam berdiskusi dengan mereka masih bisa berjalan dengan sehat. Apalagi sekadar perbedaan politik, sama sekali bukan alasan untuk memblokir atau bermusuhan. Bahwa terkadang harus merespons pedas, ya, hanya jika menemukan figur publik yang jelas-jelas membawa pesan-pesan tidak baik.

Kenapa figur-figur publik itu perlu dikritisi dengan keras, karena memang tak sedikit dari mereka yang merasa sebagai figur publik berpikir tak perlu menggubris pesan-pesan dari kita yang terbilang rakyat jelata. 

Entah figur publik di pemerintahan, oposisi, atau bahkan selebritas, sepanjang mereka hanya merangsang publik untuk bertindak tidak baik, memang perlu dikritik keras. 

Sebab ajakan-ajakan buruk dari seorang figur publik, acap diyakini sebagian orang sebagai ajakan baik hanya karena alasan sekubu, sama secara garis politik, atau bahkan cuma karena merasa seagama. Di sini sering memicu masalah, karena hanya karena kesamaan identitas, lalu semua menjadi benar. 

Perlawanan terhadap figur publik yang memanfaatkan kelemahan publik dalam memahami literasi ini menjadi hal krusial. Entah itu sekubu atau bukan, sepanjang figur-figur publik ini hanya memantik sentimen negatif, perlu ditentang keras. 

Sebab keburukan yang dilakukan orang yang terkenal buruk akan lebih mudah ditangkal, berbeda dengan orang yang sejatinya buruk namun hanya menyamar menjadi orang baik, di sini acap menjadi soal.

Maka itu, jika ada pesan baik yang ingin saya tegaskan di tulisan kecil ini adalah yuk lihat ulang, siapakah figur publik yang akrab dengan kita, dan apakah ia lebih mendorong Anda untuk lebih baik atau hanya menipu Anda agar mau menipu diri: melihat kebiasaan buruk mereka sebagai sesuatu yang benar hanya karena meyakini ia beridentitas sama dengan Anda.

Kasihan waktu Anda jika terbuang hanya untuk mengakrabi pikiran-pikiran buruk, cerita-cerita buruk, saat Anda justru sedang mengejar hasil baik. Tidak ada kebiasaan buruk yang bisa melahirkan nasib baik. Ini sekaligus menjadi pesan pula untuk diri Anda sendiri.*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun