Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Palu-Donggala dan Pesan dari Tsunami Aceh untuk Elite di Jakarta

5 Oktober 2018   20:20 Diperbarui: 6 Oktober 2018   12:10 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empat belas tahun lalu, saat gempa dan tsunami menghantam Aceh, ada pemandangan menarik di tengah bencana yang menarik perhatian saya: saat dua pihak yang adu kekuatan senjata--Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Polri--memilih gantung senjata. Mereka yang awalnya saling memusuhi, bahkan acap terlihat saling bekerja sama membantu korban bencana. 

Jangan bilang, kan itu karena terbantu perjanjian damai di Helsinki. Sebab perjanjian damai itu sendiri baru tercapai berbulan-bulan setelah gempa dan tsunami. Lantaran kesepakatan tersebut baru tercapai di bulan Agustus 2005.

Cerita di atas justru terjadi sebelum perjanjian di Finlandia tersebut tercapai. Para kombatan alias petempur yang awalnya acap saling tembak dan saling serang itu sudah memilih untuk menghentikan permusuhan ketika di depan mata mereka terjadi sebuah bencana.

Mereka menurunkan senjata dan menaikkan rasa kemanusiaan yang mereka punya. Kalaupun mereka menyandang senjata saat berada di lokasi untuk evakuasi dan sebagainya, senjata itu hanya disandang di belakang badan, namun mereka mengedepankan rasa kemanusiaan.

Di antara potret paling menyentuh bagi saya saat itu adalah potret itu. Betapa, permusuhan hingga dendam bisa terlupakan, dan mereka mampu menggantikannya dengan semangat kemanusiaan. Meskipun telah 14 tahun lewat, namun potret humanis ini paling mengesankan, setidaknya bagi saya yang saat itu masih berada di Aceh.

Ironisnya, ketika hari ini bencana yang mirip terjadi di Sulawesi Tengah dan menghantam Palu hingga Donggala, perseteruan politik justru mengalihkan perhatian publik dari lokasi bencana ke skenario demi skenario pemburu kekuasaan.

Meskipun saya pribadi sudah diidentikkan dekat salah satu kubu dalam persaingan menjelang Pilpres, namun di tengah bencana di Sulteng, juga memiliki harapan agar tak ada yang mesti diributkan. Sebab keributan hanya memecah perhatian dan konsentrasi banyak pihak yang sedang bekerja untuk menuntaskan masalah di Sulawesi.

Sayang sekali, saya melihat kecenderungan bencana di Sulawesi justru telah diubah menjadi amunisi politik untuk menyerang pemerintah. Di sini, mau tidak mau, kubu yang menjadi sasaran serangan pun mau tak mau akhirnya harus meredamnya atau setidaknya mengimbangi. 

Tak jarang, saling serang di sini--entah lewat media atau sekadar media sosial--telah mengaburkan perhatian terhadap bencana yang sejatinya menjadi prioritas saat ini.

Ada potret di media sosial terkait bagaimana ulah segelintir orang yang meletakkan kepentingan politik di atas kemanusiaan, justru makin melukai mereka yang terjun langsung di lokasi bencana. 

Itu terjadi persis saat salah satu pentolan pendukung salah satu calon presiden justru menjadikan isu Palu dan Donggala untuk menyerang pemerintah. Sebut saja Dahnil Anzar Simanjuntak, yang belakangan makin sering meramaikan media, juga rajin menuangkan "pukulan-pukulan"-nya lewat media sosial, terutama Twitter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun