Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Palu-Donggala dan Pesan dari Tsunami Aceh untuk Elite di Jakarta

5 Oktober 2018   20:20 Diperbarui: 6 Oktober 2018   12:10 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama, ia menuliskan cuitan berisikan link berita tentang acara International Monetary Fund-World Bank di Bali. Ia  mengemas berita tentang acara tersebut dengan membenturkannya dengan bencana di Palu. Sontak, kritikan pedas pun datang dari pemilik akun @candkanthi yang menunjukkan kegerahannya lantaran isu bencana dijadikan senjata politik.

"Sekarang saya tanya, kalian sudah ngapain? Presiden sudah mengunjungi kami di sini 2 kali tanpa membuat gaduh, tanpa menggunakan hasil kerjanya untuk menyerang kalian," tulis Kinanthi, pemilik akun @candkanthi.

"Kalian sudah berbuat apa? Bahkan bupati yang kalian usung saja mengusir pengungsi yang cuma meminta air. AIR!"

Pemandangan ini sedikitnya cukup mewakili luka masyarakat di tengah bencana, lantaran musibah yang baru saja menimpa mereka justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Apalagi terpampang langsung di depan korban bencana, bagaimana sebagian elite politik hanya berbicara tapi tidak melakukan apa-apa. 

Pemandangan dipamerkan oleh pentolan salah satu kubu capres tersebut tentu saja bisa dikatakan tidak beradab. Tidak terlihat adanya empati, walaupun ia berusaha memoles pernyataannya di media sosial seolah itu ditujukan untuk korban bencana.

Ada yang dilupakan, bahwa korban bencana dan siapa saja yang berada langsung di tengah bencana, lebih peka dan lebih mampu merasa bagaimana suatu pemandangan yang mereka lihat. Maka itu ketika elite politik hanya memasak, merebus, hingga menggoreng isu-isu bencana untuk kepentingan politik, mereka di lokasi bencana jauh lebih mampu merasakan ke mana arah sebuah pernyataan elite.

Itu hanya sebuah contoh kasus, ketika ambisi politik dan persaingan di dalamnya justru menanggalkan sesuatu yang sejatinya dibutuhkan oleh korban atau bahkan juga oleh mereka yang sedang bekerja untuk membantu korban; pikiran sehat. 

Satu sisi tidak menjadi sebuah persoalan besar ketika dalam persaingan politik hanya sebagian kecil yang khilaf. Itu dapat dikatakan khilaf, jika hanya satu atau dua orang. Persoalannya adalah ketika narasi yang mirip justru dilakukan oleh banyak figur publik lainnya yang sekubu dengannya.

Silakan saja perhatikan salah satu capres yang akan melawan petahana, alih-alih menonjolkan perhatian terhadap korban bencana, ia justru terdepan memimpin serangan terhadap pemerintah. 

Ada kesan, saat pemerintah sedang berkonsentrasi pada bencana yang beruntun datang--dari Nusa Tenggara Barat hingga Sulawesi Tengah--justru terlihat oleh kubu capres tersebut sebagai kesempatan untuk menyerang.

Maka itu, di luar posisi saya yang juga berada di salah satu kubu politik tersebut, saya pikir itu menjadi sebuah pemandangan politik yang sangat buruk. Betapa ketika negara sedang menghadapi situasi buruk, elite politik justru memamerkan tabiat buruk dan menonjolkan ambisi berkuasa. Bencana pun akhirnya dijadikan senjata untuk menghantam kalangan yang mereka pandang sebagai lawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun