Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Palu-Donggala dan Pesan dari Tsunami Aceh untuk Elite di Jakarta

5 Oktober 2018   20:20 Diperbarui: 6 Oktober 2018   12:10 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prajurit melupakan perang dan pentingkan kemanusiaan saat tsunami Aceh - Gbr: TNI AD

Masygul. Realita itu sempat membuat saya pribadi heran, lantaran capres itu sendiri adalah mantan jenderal, paham tentang perang, dan semestinya lebih mengenal sikap ksatria. 

Namun justru yang semestinya bisa diharapkan jadi yang terdepan untuk turut membantu korban bencana dengan apa yang ia bisa, justru jadi terdepan memamerkan sikap-sikap ambisius, yang mengesankan bahwa politik jauh lebih penting daripada urusan kemanusiaan.

Dulu, saat bencana terjadi di Aceh, prajurit yang bertempur dapat dikatakan sebagian besar adalah serdadu berpangkat kelas tamtama dengan bintara. Namun mereka bisa menampilkan sikap ksatria, mengedepankan misi kemanusiaan, dan melupakan urusan pertempuran. Sementara 14 tahun kemudian, justru ada mantan jenderal yang menonjolkan sikap yang terasa jauh berbeda dibandingkan para prajurit berpangkat rendah itu.

Di sini sisi masygul saya muncul. Prajurit berpangkat rendah mampu menunjukkan sikap yang agung, sedangkan yang pernah berpangkat tinggi justru menampilkan mental rendah.

Begitu juga dengan kombatan Gerakan Aceh Merdeka yang notabene telah dilabeli sebagai musuh negara, separatis, dan sebagainya. Di tengah banyak label buruk ditimpakan kepada mereka, para kombatan itu masih mampu menunjukkan sisi baik sebagai manusia, tidak mengusik usaha pemerintah saat itu yang ingin menyelesaikan masalah kemanusiaan.

Ada bencana yang membutuhkan banyak tangan, dan mereka yang dipandang sebagai musuh negara itu juga mau turun tangan, dan bahkan kerap membaur dengan TNI untuk mengevakuasi korban dan sebagainya.

Itu yang bikin saya masygul melihat kekuatan oposisi, yang sejatinya juga merupakan kekuatan dibutuhkan sebagai pengimbang. Alih-alih mereka menunjukkan rasa turut terpanggil untuk membantu korban bencana, kok malah terkesan lebih rendah dibandingkan GAM yang pernah dicap musuh negara. 

Entahlah. Elite-elite politik memang bisa membingkai semua pekerjaan mereka dengan berbagai rasa bahasa, hingga yang buruk pun terlihat baik. Namun yang pasti, rakyat terutama di lokasi bencana, lebih membutuhkan banyak kebaikan, lebih banyak tangan.

Saya pribadi justru berharap, jika GAM dan TNI yang berseteru di Aceh dulu bisa bahu-membahu bekerja sama membantu korban bencana, kenapa tidak dalam musibah di Palu dan Donggala kedua kekuatan politik yang berseteru menunda saling hantam tapi bersama membantu mereka.

Presiden Jokowi sejauh ini hampir tidak pernah berbicara politik. Ia bahkan tak merespons kecaman atau cibiran terhadapnya. Ia datang ke lokasi, bahkan melakukan rapat di pelataran bandara untuk menjawab masalah yang ada, menemui rakyat korban bencana, tanpa banyak bicara.

Tidak ada komentar darinya untuk melawan balik lawan politik yang menyerangnya. Saya pikir akan luar biasa juga jika lawan politiknya pun bersepakat untuk mengutamakan dulu penanggulangan bencana, dan mengedepankan urusan kemanusiaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun