Ada keharuan membuncah di batin saya, saat satu cuitan berbentuk thread mendapatkan respons tinggi. Cuitan bertanggal 1 Oktober itu mendapatkan retweet alias cuitan ulang hingga 5 ribu lebih dalam tiga hari. Sepanjang bermedia sosial, ini menjadi cuitan paling menyentuh bagi saya.
Kenapa? Lantaran dari sini saya merasa bisa turut berperan dari jauh membantu para korban yang sempat menjadi sasaran tuduhan yang bukan-bukan. Itu sempat saya rekam juga di tulisan kecil: Korban Bencana Bukanlah Penjarah. Â Itu mengekspresikan empati sekaligus simpati terhadap para korban di Sulawesi Tengah, terutama Palu dan Donggala.
Bagaimana tidak, saat di sana para korban masih berkutat dengan beban berat yang harus mereka pikul, di dunia pemberitaan tak sedikit yang menghantam mereka dari jauh dengan berbagai berita negatif.Â
Apalagi saya sendiri pun pernah menyaksikan bagaimana mayat bergelimpangan dan wajah-wajah nestapa di Aceh pada 2004 lalu. Di kampung asal saya sendiri. Maka itu, saat melihat berita buruk tentang mereka di Sulteng, ada perasaan terpanggil untuk membendung berita-berita negatif.
Bagaimana tidak, sejak bencana itu terjadi di daerah yang berada di tengah Pulau Sulawesi itu Jumat 28 September, berbagai berita negatif merusak perhatian publik luar daerah itu. Banyak yang sibuk menggencarkan obrolan tentang politik hingga teranyar bahkan ada yang melakukan pembohongan publik, yang lagi-lagi membetot perhatian banyak massa. Sedikit yang menyuarakan apa saja perkembangan di lokasi bencana.
Padahal, Palu dan Donggala, seperti halnya Lombok masih membutuhkan perhatian besar dari semua pihak. Sayangnya, hiruk pikuk politik dengan segala intrik sempat membuyarkan perhatian itu, dan teralihkan dari fokus ke lokasi-lokasi bencana itu.
Sebut saja kasus Ratna Sarumpaet yang menghebohkan media sosial yang mengaku dipukuli dan dikeroyok di Bandung. Hampir seisi penghuni jagat maya tersita perhatian ke sana. Kian sedikit yang mau melirik korban bencana, dan apa yang bisa dilakukan untuk mereka di sana.
Sangat disayangkan lagi, di tengah situasi itu juga, salah satu calon presiden bahkan ikut-ikutan mengalihkan perhatian dari bencana Palu dan Donggala. Prabowo Subianto bahkan sempat mengumpulkan para wartawan hanya untuk menyebarkan kebohongan bahwa Ratna Sarumpaet telah dianiaya. Bahkan oleh lingkarannya, isu itu dipelintir sebagai perlakuan kejam lawan politik mereka terhadap perempuan.
Itu juga yang membuat saya terusik hingga menuliskan kalimat yang dianggap sarkas; "Presiden ke lokasi bencana agar perhatian negeri ini tertuju ke sana, calon presiden malah menebar dusta (baca: hoaks) untuk membuat perhatian negeri ini hanya tertuju kepadanya."
Pasalnya, saat Palu dan Donggala sedang membutuhkan perhatian, capres tersebut justru mencuri perhatian publik agar tertuju kepadanya dan kalangannya. Bermunculan cerita bahwa ada perempuan yang dianiaya, bersambung dengan agitasi dan berbagai hasutan.