Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mimpi Jokowi Main Kejar-kejaran

8 September 2018   19:39 Diperbarui: 8 September 2018   20:23 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi mengejar kekuasaan atau ia ingin Indonesia dapat mengejar ketertinggalan? - Foto: Instagram.com/jokowi

Apa yang penting disimak sepanjang tahun politik adalah mana saja yang sekadar mengejar kekuasaan dan mana yang benar-benar menunjukkan keinginan untuk membuat negeri ini dapat mengejar ketertinggalan.

Ya, kata kerja yang sengaja saya tonjolkan di atas memang lebih tertuju pada "kejar". Mengejar adalah aktivitas menantang, entah untuk diri sendiri, kelompok sendiri, atau melibatkan banyak orang.

Jika berkaca pada kegembiraan anak-anak, maka kejar-mengejar cenderung terlihat sebagai kegiatan yang menyenangkan dan membahagiakan. Sebab, terlepas kegiatan ini melelahkan dan berisiko jatuh atau terluka, tetapi bagi seorang anak akan tetap membahagiakan.

Sejenak, cobalah Anda bayangkan saja dulu bagaimana kegembiraan Anda di masa kanak-kanak ketika melakukan aksi kejar-kejaran dengan teman sepermainan. Apa yang paling membekas di pikiran Anda pastilah kegembiraan. Tak peduli siapa yang lebih dulu berada di depan, atau siapa yang tertinggal, semua yang terlibat di sana merasakan kegembiraan itu.

Namun jika "kejar-kejaran" ini disandingkan dengan dunia orang-orang dewasa, terlebih dihubungkan dengan politik, maka kegembiraan itu hanya terasakan oleh mereka yang mengincar kekuasaan hanya agar leluasa bekerja untuk orang banyak. Bisa meninggalkan jejak yang dapat membekas cukup dalam di ingatan banyak orang, dan tercatat dalam sejarah.

Tentunya ini juga tidak lepas dari motif untuk apakah kekuasaan itu dikejar.

Kenapa? Tidak lain karena motif itu sendiri menjadi penentu, apakah kekuasaan hanya sekadar menjadi kesempatan untuk bermegah-megah, hanya sekadar dapat membusungkan dada. Atau, kekuasaan memang dikejar untuk bisa melakukan dan menciptakan sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh rakyat banyak.

Indonesia ini sendiri lebih membutuhkan penguasa yang memang mampu melakukan sesuatu yang menegaskan niat tulus untuk membantu negeri ini bisa mengejar ketertinggalan. Tidak sekadar bertahan dengan status sebagai negara berkembang, tapi juga dapat mendekati hingga benar-benar menjadi negara maju.

Di sini, apa yang paling meyakinkan bahwa seorang penguasa memiliki iktikad kuat untuk tujuan itu---agar negara di bawah kekuasaannya---dapat mengejar ketertinggalan adalah apa yang sudah dibuktikan.

Joko Widodo tidak sempurna, memang iya. Namun dalam ketidaksempurnaannya, ia bisa menunjukkan bukti yang sempurna bagaimana ia menyusun strategi agar negerinya dapat berlari kencang.

Ia seperti supir bus berukuran besar, yang dapat dikatakan cekatan dalam memegang kemudi. Saat ia dipercayakan memegang kemudi sejak awal, dia sudah menemukan ketidakseimbangan dan masalah di bus tersebut. Ada tekanan angin yang tidak sesuai sehingga laju bus tersendat, hingga mesin yang sempat berkarat.

Supir ini memang berbadan kurus, tapi ia bisa menunjukkan hal besar dalam pikirannya. Itu terlihat dari bagaimana ia ingin memastikan agar laju kendaraan yang disupiri olehnya tidak oleng, dan bisa berlari dengan kecepatan ideal untuk bisa mencapai tujuan tanpa perlu waktu terlalu lama.

Dari mana ia menunjukkan itu, tak lain adalah dari bagaimana ia berusaha keras agar dapat menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya, terutama di lima pulau besar seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.

Ia memperlihatkan perhatian yang tidak lagi Jawasentris atau hanya tertumpu ke Jawa saja. Dalam sepekan ia bisa berada di Sulawesi, Papua, Sumatra, secara bergantian. Ia bisa melakukan rapat dan koordinasi dengan para pejabatnya yang tak hanya di Istana Negara, melainkan bisa di mana saja. Ia bisa berada di tenda pengungsi dan melakukan rapat di sana, dan juga dapat ditemukan di pinggir sawah, membaur seraya mencari cara sambil bercengkrama dengan masyarakatnya.

Hampir tak terlihat ada kasta. Sebab ia tidak terlalu terpaku dengan statusnya sebagai Kepala Negara. Maka itu, melihatnya berjalan kaki dengan sandal jepit, atau ia duduk dengan alas seadanya, sudah menjadi sesuatu yang tidak mengherankan lagi.

Ia memahami bahwa rakyatnya berkeringat untuk dapat hidup, maka ia sendiri bersedia berkeringat agar seisi negerinya tetap hidup.

Bahwa di belakangnya ada saja yang melempar berbagai tuduhan hingga hasutan dan fitnah, dapat dikatakan hampir tak digubrisnya. Jika saja ia menggubris itu, bukan tak mungkin ia akan melempar ke tempat sampah siapa saja bermulut sampah dan menebar pikiran sampah. Toh, kekuasaan ada di tangannya.

Namun ia memilih tidak terlalu merisaukan apa kata orang, sebab ada yang lebih penting dari kata-kata adalah apa yang bisa dikerjakan. Sebab kata-kata bisa saja terlupakan, sedangkan hasil kerja akan dikenang meski tak perlu dieja.

Ada tudingan bahwa ia hanya melakukan pencitraan dengan semua yang dilakukan, bagi saya sebagai rakyat justru yang menuding itu hanya kalangan pelupa. Mereka lupa pada bagaimana negeri ini ketika berada di tangan penguasa yang berlagak bak raja hingga penguasa yang lamban dan terlalu banyak prihatin.

Negeri ini tidak bisa berlari dengan mental kuno yang melihat kekuasaan hanya untuk sebuah kebanggaan di lingkup kecil: diri sendiri dan kalangan sendiri. Negeri ini bisa berlari dengan sudut pandang selayaknya atlet yang paham sekali bahwa satu detik pun berharga untuk memastikan nanti akan mengakhiri pertandingan di mana.

Sudah. Negeri ini tidak menanti pangeran berkuda yang memasang tampang berwibawa namun tak terbukti punya catatan kerja yang istimewa. Negeri ini masih membutuhkan pemimpin yang bisa memberikan kendaraan yang sesuai dengan zaman, agar tidak tertinggal oleh kekuatan mesin yang sudah menguasai jalanan ke pentas dunia.

Anda masih ingin menuding seorang yang kurus seperti Jokowi sedang mengejar kekuasaan saja?***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun