Supir ini memang berbadan kurus, tapi ia bisa menunjukkan hal besar dalam pikirannya. Itu terlihat dari bagaimana ia ingin memastikan agar laju kendaraan yang disupiri olehnya tidak oleng, dan bisa berlari dengan kecepatan ideal untuk bisa mencapai tujuan tanpa perlu waktu terlalu lama.
Dari mana ia menunjukkan itu, tak lain adalah dari bagaimana ia berusaha keras agar dapat menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya, terutama di lima pulau besar seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.
Ia memperlihatkan perhatian yang tidak lagi Jawasentris atau hanya tertumpu ke Jawa saja. Dalam sepekan ia bisa berada di Sulawesi, Papua, Sumatra, secara bergantian. Ia bisa melakukan rapat dan koordinasi dengan para pejabatnya yang tak hanya di Istana Negara, melainkan bisa di mana saja. Ia bisa berada di tenda pengungsi dan melakukan rapat di sana, dan juga dapat ditemukan di pinggir sawah, membaur seraya mencari cara sambil bercengkrama dengan masyarakatnya.
Hampir tak terlihat ada kasta. Sebab ia tidak terlalu terpaku dengan statusnya sebagai Kepala Negara. Maka itu, melihatnya berjalan kaki dengan sandal jepit, atau ia duduk dengan alas seadanya, sudah menjadi sesuatu yang tidak mengherankan lagi.
Ia memahami bahwa rakyatnya berkeringat untuk dapat hidup, maka ia sendiri bersedia berkeringat agar seisi negerinya tetap hidup.
Bahwa di belakangnya ada saja yang melempar berbagai tuduhan hingga hasutan dan fitnah, dapat dikatakan hampir tak digubrisnya. Jika saja ia menggubris itu, bukan tak mungkin ia akan melempar ke tempat sampah siapa saja bermulut sampah dan menebar pikiran sampah. Toh, kekuasaan ada di tangannya.
Namun ia memilih tidak terlalu merisaukan apa kata orang, sebab ada yang lebih penting dari kata-kata adalah apa yang bisa dikerjakan. Sebab kata-kata bisa saja terlupakan, sedangkan hasil kerja akan dikenang meski tak perlu dieja.
Ada tudingan bahwa ia hanya melakukan pencitraan dengan semua yang dilakukan, bagi saya sebagai rakyat justru yang menuding itu hanya kalangan pelupa. Mereka lupa pada bagaimana negeri ini ketika berada di tangan penguasa yang berlagak bak raja hingga penguasa yang lamban dan terlalu banyak prihatin.
Negeri ini tidak bisa berlari dengan mental kuno yang melihat kekuasaan hanya untuk sebuah kebanggaan di lingkup kecil: diri sendiri dan kalangan sendiri. Negeri ini bisa berlari dengan sudut pandang selayaknya atlet yang paham sekali bahwa satu detik pun berharga untuk memastikan nanti akan mengakhiri pertandingan di mana.
Sudah. Negeri ini tidak menanti pangeran berkuda yang memasang tampang berwibawa namun tak terbukti punya catatan kerja yang istimewa. Negeri ini masih membutuhkan pemimpin yang bisa memberikan kendaraan yang sesuai dengan zaman, agar tidak tertinggal oleh kekuatan mesin yang sudah menguasai jalanan ke pentas dunia.
Anda masih ingin menuding seorang yang kurus seperti Jokowi sedang mengejar kekuasaan saja?***