Media sosial belakangan memang makin terkesan hanya untuk mensosialisasikan caci maki. Media sosial bahkan terkesan kering dari nilai-nilai layaknya manusia sebagai makhluk sosial. Hanya karena berbeda pandangan, maka berbagai caci maki bisa tertuju kepada Anda.Â
Itu tak hanya terjadi kepada kita yang mungkin dimasukkan dalam kasta orang-orang biasa. Sebab boleh jadi kita lebih leluasa jadi sasaran itu karena bukan tokoh, bukan panutan, bukan siapa-siapa. Sayangnya tokoh-tokoh yang hampir bisa dipastikan kerap memasang badan sebagai penengah pun tak luput dari celaan hingga umpatan.
Kita tidak lupa seperti apa seorang ulama sekelas Quraish Shihab, yang memilih tenang, dan hanya tampil untuk menyampaikan ilmu yang beliau miliki, bahkan acap jadi sasaran celaan hingga fitnah. Kalau dipikir-pikir, padahal tak pernah ada kalimat beliau yang menjurus ke arah kebencian. Beliau justru ingin menyampaikan ilmunya, dan dengan itu mengajak untuk menjadi manusia beragama yang cerdas, yang mau membawa kebaikan ke mana saja.
Tak berhenti di situ. Seorang Kiai Haji Mustofa Bisri yang juga lebih sering tampil untuk mengenalkan cara-cara beragama yang humanis, yang tak memagari kebaikan, pun lagi-lagi menjadi sasaran. Beliau dihina, dicela, sampai difitnah. Bahkan ada kesan di beberapa kalangan, makin kencang memfitnah beliau, maka makin sempurnalah agama mereka.
Lah, Anda sendiri kan pernah bikin heboh Indonesia karena menista ulama? Di sisi ini saya pribadi memilih sikap, ulama bagi saya tidak diukur dari popularitas. Dalam Islam pun ada banyak tuntunan yang menunjukkan seperti apa ciri seorang ulama. Bahwa ulama bukan semata-mata mereka yang rajin menyemburkan nama Tuhan dari mulut, tapi sejauh mana ia bisa menyampaikan kebaikan lewat tindakan. Jika urusan hidung yang merupakan karya Tuhan secara langsung dicela olehnya, bagaimana ia bisa disebut ulama?
Ya, itu hanya bagian perdebatan, dan sedikit sudut pandang saya dalam melihat tokoh agama atau ulama. Maka kenapa, saya pribadi pun terkadang mengkritik beberapa figur yang terlanjur terkenal, dan terlanjur disebut ulama. Jika karena kritikan itu kemudian saya sendiri jadi sasaran hinaan sampai ancaman, apa yang lebih saya pentingkan adalah tidak membalas kekejian dengan kekejian.
Setidaknya itu menjadi nilai yang juga saya pegang dalam bermedia sosial. Walaupun, sejujurnya tak sepenuhnya berhasil. Sebab terkadang memang emosi terpancing, dan lain sebagainya, namun sekuat tenaga berusaha tidak membalas kalimat buruk dengan kalimat lebih buruk. Jika kalimat buruk juga saya balas kembali dengan yang lebih buruk, artinya saya turut andil memperpanjang keburukan.Â
Jika ditanya sejauh mana hinaan berdatangan sejak kasus yang menghebohkan di pengujung tahun lalu itu, tak perlu lagi saya ungkapkan. Di mana-mana bertebaran caci maki dan hinaan tersebut. Namun yang selalu saya usahakan untuk tanamkan di pikiran adalah usahakan sekuat tenaga untuk tidak membalas. Jika tidak yakin membalas komentar buruk dengan yang lebih baik, lebih baik didiamkan. Atau, jika tidak, dibawa bercanda saja.
Sejujurnya kasus yang beraroma persekusi di dunia maya di pengujung tahun lalu memberikan saya banyak catatan. Usaha untuk berbagi pandangan yang bersifat pluralis memang masih sangat dibutuhkan, agar publik tak terseret oleh pandangan menjurus fasisme berbalut agama. Sebab, nilai itu memang masih sangat perlu diperkenalkan lebih luas.Â
Terlebih lagi merupakan hal yang faktual bahwa negeri ini identik dengan keberagaman. Ada banyak agama, latar belakang etnis, dan berbagai perbedaan. Jika nilai-nilai pluralisme tak diperkenalkan secara meluas, maka kecenderungan dan kegandrungan memamerkan identitas bahwa yang satu berada di atas yang lain, maka potensi konflik berbahaya dapat saja terjadi.Â
Paling tidak, kezaliman rentan merajalela jika pandangan plural terketepikan. Apalagi pada faktanya ada saja tokoh-tokoh publik yang terlalu menonjolkan identitas dan sering tampil di berbagai media hingga besar di sana. Sayangnya tak jarang dari tokoh publik ini terkesan lupa bahwa keadilan dan kebaikan tak hanya menjadi kebutuhan pemeluk agama tertentu melainkan juga kebutuhan pemeluk semua agama. Semua manusia dengan latar belakang apa saja membutuhkan keadilan dan kebaikan itu.
Maka kenapa, di media sosial, saya terkadang melemparkan pandangan semisal; bahwa jika umat Muslim bangga karena memiliki rumah ibadah di mana-mana, semestinya juga tak kurang bahagia jika pemeluk agama lain juga punya kesempatan serupa.
Itu sekadar contoh yang selama ini saya pribadi berusaha secara pelan-pelan untuk sampaikan kepada publik, terlepas di media sosial seperti Twitter memang memiliki keterbatasan huruf dan kata yang bisa saya alirkan. Namun cukup terasa keharuan dan kegembiraan, betapa publik sebenarnya memang membutuhkan mata air kedamaian, tak terkecuali di media sosial.
Mereka, entah berasal dari agama apa saja, tak meminta muluk. Mereka ingin tetap dilihat sebagai manusia, dihargai sebagai manusia, dan bisa melihat itu tak terkecuali di pergaulan media sosial.
Maka itu, terlepas apa saja afiliasi politik pengguna media sosial, semoga saja tak melupakan bahwa di kubu politik mana saja, di sana ada manusia yang ingin diperlakukan sebagai manusia. Syukur-syukur jika media sosial pun dapat juga digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan damai, dan pesan-pesan yang saling menghargai satu sama lain.
Semoga pula, media sosial tak sampai menyulap nilai-nilai kita sebagai makhluk sosial menjadi anti-sosial. Bisa menjadi tempat untuk berdiskusi, berbagi, dan saling meyakinkan bahwa pesan kedamaian adalah tanggung jawab semua orang. Kalau akhirnya harus tampil untuk membela, karena kezaliman pun acap bermunculan lewat dunia maya, maka yang tampil membela pun tetap melakukan pembelaan dengan cara-cara yang makin mengokohkan pikiran damai. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H