Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Meraba Niat Baik Reuni 212

30 November 2017   18:52 Diperbarui: 30 November 2017   19:06 5236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan berbaik sangka kepada saya karena mengawali dengan ajakan meraba sebuah niat baik dari sebuah rencana yang mulai heboh; Reuni 212. Saya bilang jangan, karena saat banyak masyarakat Muslim di Jakarta dan dari mana-mana merayakan 212 yang berujung pemenjaraan Basuki Tjahaja Purnama tahun lalu juga saya ada di barisan yang tidak setuju aksi ini.

Jadi dengan saya buka tulisan ringan ini seperti itu, sedikitnya Anda tahu, saya berada di mana. Ya, orang-orang seperti saya adalah orang yang sering dihakimi sebagai orang yang berkadar iman rendah, liberal, dan jauh dari Tuhan. Walaupun saya sendiri masih bingung, sejak kapan Islam punya Rukun Islam yang berisi keharusan melaksanakan demonstrasi secara rutin.

Apalagi saat aksi 212 dulu heboh, saya tidak tertarik mendukung karena alasan keyakinan bahwa mereka bukan sedang membela agama. Ketika mereka menyebut ada penistaan agama karena ada nada sindiran dari seorang gubernur yang kebetulan beragama berbeda; saya lebih tertarik untuk jujur saja bahwa memang teramat banyak yang seagama dengan saya menjadikan pesan Tuhan hanya untuk keuntungan diri sendiri. Ayat-ayat Tuhan diperdagangkan oleh banyak sekali orang yang mengincar kursi kekuasaan, atau oleh pengusaha yang ingin terlihat islami agar mampu merebut pasar dari kalangan seagama.

Pemandangan itu yang saya simak memang kerap bikin bingung kalangan seagama dengan saya. Mereka bingung karena mana pedagang murni dan mana yang sedang melejitkan dagangannya dengan memanfaatkan agama. Mereka bingung mana agamawan dan orang yang sedang memanfaatkan agama agar terlihat suci dan  agar dosa-dosa tak tercium orang-orang lagi.

Apalagi, kebingungan itu juga makin teraba dari diobralnya julukan ulama kepada hampir setiap yang berjubah dan rajin mengenakan pakaian putih-putih. Padahal jelas tak semua yang putih itu identik dengan kebaikan. Kok bisa? Ya, "keputihan" bahkan dikenal sebagai salah satu penyakit, walaupun nama penyakit itu diambil dari kata dasar "putih". Bahkan kuntilanak saja konon rajin mengenakan baju putih--entah tak ada toko baju yang menyediakan pilihan warna-warni di sana. Entahlah.

Tapi, kuntilanak saja yang konon berasal dari kalangan setan malah terlihat lebih berani. Sebab ia masih bisa membuat orang-orang lintang-pukang cukup hanya dia berdiri sendirian saja di pojok-pojok yang biasanya hanya digemari tikus atau kecoa. Sementara yang manusia sebenarnya kok makin terlihat tidak percaya diri, padahal baju dikenakan jauh lebih bersih dari baju kuntilanak yang di dunianya tak ada deterjen atau pemutih pakaian.

Kok menuduh orang yang gemar beramai-ramai sebagai orang yang tak percaya diri? Ya, bagaimana bisa dikatakan cukup percaya diri jika mereka hanya merasa besar semata-mata karena jumlah. Sedangkan dalam kualitas, masih kalah dari orang-orang yang diposisikan sebagai minoritas dan yang mereka anggap hanya masyarakat kelas dua.

Buktinya? Saat ada yang mampu memimpin lebih baik, lebih mampu menjaga milik rakyat, justru didepak dengan alasan mengada-ada. Sementara figur yang mereka percayakan sebagai pengganti justru lebih banyak bercanda daripada bekerja serius. 

Apakah dengan Reuni 212 bisa mengubah sesuatu? Ya, tanda tanya inilah yang semestinya menjadi tantangan bagi mereka. Apa urgensi yang bisa dihadirkan jika, katakanlah, pada tanggal 2 Desember ini bisa kembali mendatangkan tujuh juta orang ke Jakarta?

Dari sisi miring, dalam arti secara sudut pandang negatif, kegiatan ini memang dinilai rentan dipelintir untuk hal-hal yang kontraproduktif. Bahkan ada pejabat negara yang mencium gelagat jika aksi ini tak lebih dari sebuah manuver untuk kepentingan politik. Namun, jika menilik lagi dari kacamata lebih adil, memang tak semua orang yang mengikuti aksi ini tergerak oleh keinginan beraroma akal bulus.

Sebab jika berkaca ke aksi sebelumnya memang banyak juga yang memilih mengikuti aksi itu sebagai panggilan solidaritas satu agama, membela simbol agama, dan hampir tanpa kepentingan apa-apa. Namun di sinilah yang disayangkan, karena banyak orang baik yang tak menyimpan niat buruk jadi ikut terkena getah karena menolak melihat suatu urgensi sebuah aksi secara kritis.

Kalaupun ingin mempersalahkan mereka yang bisa dikategorikan sebagai "orang-orang tanpa dosa", itu tak lain karena ketidakjelian membaca arah sebuah aksi. Mereka terlalu percaya bahwa ini murni sebuah aksi membela agama. Mereka di barisan ini acapkali adalah mereka yang enggan menafsir terlalu kritis; karena di sana ada ulama atau terlihat sebagai ulama, banyak yang paham agama, dan mustahil rasanya ada ulama yang punya niat buruk.

Mereka menolak melihat sebuah fakta, status apapun melekat pada seseorang tak bisa dilepaskan dari realitas bahwa mereka adalah manusia biasa. Artinya kecenderungan bahwa mereka bisa benar dan bisa salah, punya kemungkinan sama besar. Apalagi bukan rahasia jika sebagian yang disangka sebagai tokoh ulama memiliki kedekatan kuat dengan kelompok politik tertentu. 

Masalahnya adalah kedekatan dengan tokoh politik yang memiliki kredibilitas yang masih penuh tanda tanya. Terbukti siapa yang berbicara, siapa yang bersuara, cenderung adalah mereka yang jamak diketahui memiliki afiliasi dengan partai politik tertentu dan tokoh tertentu; dari yang memiliki dendam politik sampai dengan mereka yang acap berada di balik banyak drama tidak penting.

Mempertanyakan apakah lantas tak ada sisi baik dari sana, mungkin menjadi pertanyaan sangat pantas diajukan. Namun itu juga perlu dihadapkan lagi dengan fakta; setelah hiruk pikuk 212 lalu, apakah ada manfaat yang berdampak luas setidaknya kepada para peserta aksi itu sendiri?

Sebab jika ingin melihat secara jujur, kesuksesan aksi 212 lalu nyaris tak membawa manfaat apa-apa; kecuali keuntungan beberapa partai politik untuk mendudukkan wakil mereka di satu titik penting kekuasaan. Selebihnya? Mari kita jawab saja dengan nurani masing-masing.

Yang pasti jika benar-benar ingin kembali kepada anjuran Islam, maka yang lebih ditekankan bukan sekadar bermegah-megah; melainkan seberapa besar manfaat yang dapat dihasilkan. Syukur-syukur jika Reuni 212 nanti bisa membawa manfaat besar, tapi jika konsekuensinya justru keburukan besar tentu kita yang meyakini sebagai orang beriman harus tetap menghadapi pertanggungjawaban besar kelak di akhirat sana.

Ekspektasi saya pribadi, jika aksi yang mengangkat ide reuni itu tetap dilakukan, semoga kelak dapat membawa manfaat bagi lebih banyak orang; bukan sekadar unjuk bukti bahwa kami adalah pemeluk agama terbesar. Sebab jika alasannya hanya berkutat di sekitar itu, maka sebuah balon sebesar apa pun tak membawa pengaruh apa-apa karena tak berisi apa-apa yang lebih berarti. Beda jika sesuatu yang dibangun adalah sesuatu yang memang berguna, sekecil apapun akan tetap berharga.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun