Lah, tapi saya terkadang memilih melawan arus. Bicara politik bukan karena ada ambisi berpolitik, tapi hanya berharap agar tak ada yang disulap menjadi itik karena kepentingan politik. Sebab, kecenderungan di negeri ini, banyak yang memilih menjadi itik meski ia menyadari dirinya adalah manusia. Sebab menjadi itik memang tak menguras tenaga dan pikiran; cukup ikuti saja "garis komando". Pilihan ini memang membantu otak tetap awet, karena jarang digunakan. Sayangnya jika otak diawetkan dengan cara begini, khawatirnya nanti Tuhan mengambilnya kembali daripada tidak digunakan.
Maksud saya apa? Ya ketika menulis politik maka itu sekadar pembelaan. Apa yang harus dibela, tak lain itu adalah kemanusiaan. Dari masa sekolah hingga perguruan tinggi berbasis agama, memang sempat membuat saya berpikir bahwa agamalah segalanya. Namun perjalanan usia, dialektika, berusaha terus mencari referensi, mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa yang perlu dibela itu adalah manusia, kemanusiaan.Â
Agama itu ada untuk manusia. Agar manusia dapat teratur untuk menjadi lebih baik. Tuhan tak butuh apa-apa, sebab yang memiliki kebutuhan hanya sesama manusia; butuh keadilan, butuh kesejahteraan, butuh kedamaian, dlsb. Sementara yang memiliki kebutuhan itu adalah manusia yang berasal dari semua agama, atau bahkan tak beragama.
Lalu kenapa menulis politik? Ya, untuk itu, sepanjang itu dirasa-rasa memang  bisa menjadi cara untuk menentang suatu skenario buruk yang diyakini bisa berdampak buruk. Bukan soal dampak buruk pada pemerintah, atau pada Tuhan, tapi soal dampak buruk pada sesama manusia.
Lah tapi hari ini saya terlihat sangat condong ke pemerintah? Anda simpulkan saja sendiri-sendiri. Sebab bagi saya terpenting adalah bagaimana agar tak ada lagi diskriminasi, tak ada lagi cara berpolitik yang keji, dan tak ada lagi pembodohan sesama manusia yang justru dilakukan orang-orang yang konon pintar.
Itulah kenapa menulis politik pun perlu, meski terkesan genit dan terkesan seperti kehilangan arah. Jika hanya menulis politik sekadar agar terlihat pintar, itu lebih mirip keputusan mereka yang tak berani genit, lalu diam-diam memuaskan diri sendiri.Â
Jika pilihan terakhir diambil, sekadar agar terlihat pintar, tak hanya rentan membodohi dan menipu banyak orang, tapi juga menipu diri sendiri. Jika sudah begini, apakah setelah diakui pintar lalu betul-betul dipandang berharga? Mereka yang berharga acap kali hanya karena mereka berusaha memberikan yang terbaik dan paling berharga.Â
Maka kenapa orang yang acap dipandang lugu, tidak pintar, sering kali dimuliakan karena mereka bahkan tak bermatematika saat menolong. Mereka menolong tanpa memusingkan orang ini seagama denganku tidak, ia satu suku denganku atau tidak. Sebab ia menyadari, siapapun yang ada di muka bumi tetap saja ciptaan Tuhan. Sepanjang ia baik, maka tetap punya hak atas segalanya untuk kebaikan dan membawa kebaikan.
Apalagi kekuasaan, sama sekali bukan Tuhan. Kenapa jika ada yang gagal meraih ini lalu dibela mati-matian sampai menyeret-nyeret agama sebagai alasan? Bahkan ada yang rela membodohi yang seagama dengan mereka sendiri.
Ini maka kenapa, terkadang kegenitan pun perlu. Eh, kegenitan saya, maksudnya.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H