Pungutan di daerah hingga persoalan investasi menjadi bahan diskusi yang bertempat di Tjikinii Lima, Kamis (11/10/2017). Beberapa nama intelektual nasional hadir sebagai pembicara di acara diskusi publik yang mengangkat tema yang bertolak dari dampak regulasi pajak daerah dan sengketa pajak, masalah yang memang acap dinilai sebagai masalah dalam stabilitas bisnis hingga investasi. Sebut saja Yustinus Prastowo, Ronny Boko, Sumihar Petrus Tambunan, hingga Sukma Violetta.
Di acara yang diadakan oleh Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus tampil sebagai pembuka acara sekaligus menjadi pembicara utama. Sosok yang juga merupakan Direktur Eksekutif CITA tersebut mengetengahkan soal peraturan daerah yang dinilai olehnya acap bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Pertentangan tersebut, menurutnya memang berdampak langsung pada iklim bisnis hingga investasi di berbagai daerah. Yustinus menjadikan dua kasus sebagai gambaran dari masalah aturan daerah yang acap dinilai memunculkan riak dalam dunia bisnis dan investasi. Selain kasus PT Freeport Indonesia, juga terdapat Newmont Nusa Tenggara. Kedua perusahaan raksasa tersebut sempat menjadi sorotan karena efek aturan daerah yang tak sedikit bertolak belakang dari aturan yang lebih tinggi.
Dalam kasus Freeport, mereka sempat dipusingkan dengan SKPD Pajak Air Permukaan (PAP) karena pemanfaatan air sungai untuk mengalirkan sisa pengolahan bahan tambang. Tapi SKPD tersebut keluar, hingga pihak Freeport mengajukan keberatan, namun ditolak dengan munculnya putusan Pengadilan Pajak Nomor 79853. Pihak PTFI sempat mengajukan peninjauan kembali, namun masih menjadi tanda tanya hingga kini.
Menurut penafsiran majelis, Pasal 18 (2) ii Kontrak Karya mengatur tentang "air permukaan untuk mengalirkan tailing dikenakan pajak berdasarkan peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu". Padahal pasal tersebut hanya mengatur pemberian hak untuk membangun fasilitas. Menurut majelis, proses pengalirantailing menyebabkan terganggunya ekosistem sungai, sedangkan Pasal 13 Kontrak Karya jo. Perda No. 5 Tahun 1990 menyebutkan pengenaan pajak hanya didasarkan pada jumlah air yang dimanfaatkan, bukan efek samping pemanfaatan air terhadap ekosistem.
"Pungutan-pungutan seperti itu kerap muncul sebagai bagian implikasi dari otonomi daerah," Yustinus memberikan analisis. "Jadi, daerah pun akhirnya seperti berlomba untuk menambah jenis pungutan daerah hanya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah."
Maka itu, menurut Yustinus, akhirnya banyak Perda yang lahir justru bertentangan dengan peratuan perundang-undangan. Selain itu, juga tak sedikit Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum, atau pungutan yang hanya bersandar pada keputusan kepala daerah. "Bahkan ada Perda yang sebenarnya sudah dibatalkan, tapi pungutan tetap jalan. Atau, bahkan ada pungutan yang tanpa dasar hukum," katanya.
Seperti diketahui, di awal reformasi lahir UU Nomor 22 Tahun 1999. UU tersebut memang muncul karena desakan dari daerah, yang ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antara pusat dan daerah. Terlebih, sebelumnya pun sempat muncul berbagai gejolak di berbagai daerah, dari Aceh hingga Papua.
Dari UU Otonomi tersebut, tak pelak wewenang dari pemerintah daerah pun akhirnya makin besar. Dari sana lahir banyak raja-raja kecil, yang bahkan muncul hingga ke tingkat kabupaten atau kota. Tak pelak, berbagai aturan pun bermunculan, dan terkadang cenderung menabrak aturan di atasnya.