Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Meraba Risau Pengemudi Online di Bandung

14 Oktober 2017   00:43 Diperbarui: 14 Oktober 2017   12:19 7027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandung sudah diselimuti malam saat saya tiba, dan turun di satu tempat tak jauh dari Terminal Leuwipanjang. Untuk ke rumah mertua yang berada di Kopo, ada banyak pilihan yang bisa saya gunakan; taksi yang bisa memanjakan saya setelah di bus tadi terpaksa duduk dekat toilet tanpa AC, angkot yang lebih praktis, atau ...

Pilihan saya jatuhkan ke ojek online. Walaupun, jika saya bermatematika, taksi akan lebih hemat bagi saya lantaran di dompet masih ada voucher yang lebih dari cukup, dan saya tak perlu lagi merogoh kocek membayar ongkos.

Sedangkan untuk ojek online tersebut, saya pastilah harus membayar dua kali lipat. Bukan karena diperas pengendara ojek tersebut, tapi desakan hati kecil.

Ya, mereka yang memilih bekerja lewat ojek online saat ini sedang tertekan, oleh para sopir angkutan umum konvensional, dan pihak provinsi Jawa Barat belum punya solusi untuk menengahi.

Di tengah situasi tertekan mereka alami, para tukang ojek online ini memilih bertaruh nyawa untuk mendapatkan beberapa rupiah dari satu penumpang yang mereka dapatkan. Sekasar-kasar karakter saya sebagai orang Sumatra, tak cukup tega hanya membayarnya dengan sekadar harga yang tertulis.

Saya memilih membayarnya dua kali lipat sama sekali bukan untuk disebut baik. Melainkan, sebagai cara kecil saya mengapresiasi mereka yang menolak dikalahkan oleh perasaan takut, dan berkomitmen pada prinsip sepanjang halal maka tak ada yang perlu dirisaukan.

Sedikit ekspresi takut memang terlihat dari wajah tukang ojek ini yang saya taksir masih berusia 25 tahunan. Ketika orderan saya sudah diterima, ia sudah di lokasi, dia tak langsung menemui saya melainkan memilih posisi agak jauh di seberang.

Intuisi saya sudah menangkap jika pilihan driver ojek ini memilih posisi agak jauh hanya untuk berjaga-jaga. Apalagi bukan rahasia jika keamanan mereka para pekerja ojek online ini sama sekali tak ada yang berani menjamin.

Pemerintah provinsi setempat sejauh ini masih memilih bermain aman. Mengikuti keinginan pihak yang masih memilih bekerja secara konvensional; tukang ojek pangkalan dan sopir angkutan umum, dan menafikan suara mereka yang memilih bekerja lewat online.

Belum ada iktikad kuat provinsi Jawa Barat untuk memediasi sengkarut antara angkutan konvensional dengan angkutan yang telah menggunakan teknologi. Bukan rahasia jika gubernur provinsi ini, menghadapi urusan banjir pun kerap hanya memberi saran untuk berdoa alih-alih mencari solusi.

Maka itu, saat tukang ojek online yang saya order memilih berdiri di tempat yang memaksa saya harus menyeberang lagi, saya berusaha tidak tersinggung. Walaupun jika saya ikuti egoisme, saya dapat saja menuntutnya datang ke mana posisi saya berada.

Sedikitnya, pengetahuan atas kondisi mereka yang bekerja di transportasi online ini, menggugah empati saya. Jadi, tak ada beban walaupun saya harus mengalah untuk mengikuti di mana posisinya, di seberang jalan, dan saya harus menyeruak jalanan yang masih sangat sesak menuju tempat ia berada.

Ketika roda kendaraan matic ia kendarai sudah kembali membelah malam, saya sudah berada di atasnya, di sanalah saya memberinya beberapa pertanyaan atas situasi transportasi online di Bandung. Bukan dengan bahasa resmi seperti misal saat saya sedang melakukan liputan, melainkan hanya bergaya obrolan saja.

Keberingasan pengemudi konvensional atas ojek online - Dok: Tempo.co
Keberingasan pengemudi konvensional atas ojek online - Dok: Tempo.co
"Masih belum aman ya, Kang?" tanya saya, membuka pertanyaan kepadanya. Maklum, baru malam kemarin saya menyimak bagaimana Twitter wali kota Bandung, Ridwan Kamil, diberondong sorotan para pengguna media sosial.

Ada beberapa pengguna Twitter yang bercerita tentang betapa mencekamnya suasana Bandung bagi para pekerja transportasi online tersebut. Cerita itu juga, namun lebih dalam, saya dapatkan lagi  dari driver yang memboncengi saya ke tujuan.

"Iya, nih A', di sini teh belum aman," kata driver ini, dengan suara pelan dan hampir hilang di tengah suara kendaraan di jalanan dan klakson-klakson dari pengendara yang tak sabar dengan kemacetan. "Saya mah tetap harus narik, karena cuma ini kerjaan yang bisa saya harap sehari-hari."

Menurut dia, ada imbauan agar para pekerja transportasi online tak beroperasi lebih dulu sampai pemerintah setempat menemukan solusi. "Masalahnya bagaimana kami bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga kalau mengikuti imbauan itu, A'," keluh driver ini.

Menurutnya, ia memutuskan memberanikan diri untuk tetap beroperasi bukan karena sama sekali tak khawatir dengan risiko. Beberapa temannya ada yang dipukuli hingga dikeroyok tukang ojek pangkalan hingga sopir angkot. "Kami sudah terlihat seperti musuh di mata mereka. Mengalah begitu saja kami pasti sulit mencari cara lain buat nyari uang. Jadi, kami hanya berusaha menyiasati dengan cara begini saja. Berjaga-jaga, waspada, tapi tetap bekerja."

Sampai di sini saya juga bersyukur tadi tak sampai mengikuti ego ingin dilayani layaknya konsumen manja. Ada nada gundah dari ceritanya, sebagai isyarat bagaimana pilihannya tetap menjalani pekerjaannya membuatnya tak merasa aman. 

Kemarin siang pun ia hampir menjadi sasaran penyisiran sekelompok tukang ojek pangkalan yang ingin membasmi ojek online. "Itu dekat bandara, A'. Mereka menyamar, berpura-pura ingin memesan ojek cuma untuk bisa mengendus kita ada di lokasi itu atau tidak. Saya hampir terjebak, menerima orderan mereka, dan tiba di lokasi sudah ada mereka yang menunggu. Untung saya tak memakai atribut, jadi tak diketahui mereka. Jadilah saya tinggalkan saja."

Ya, ini hanya satu pemandangan yang kebetulan saya rekam sendiri di kota Bandung, malam ini. Ada masyarakat yang tak dapat merasakan kehadiran pemerintah di tengah keruwetan mereka alami. Masyarakat ini bekerja dan mengambil risiko besar, saat pemerintah hanya memberikan imbauan sepihak.

"Gubernur cuma bikin aturan asal jadi, cuma karena dia tahu sudah tak bisa mencalonkan diri lagi," sederet kalimat yang seolah mewakili pekerja transportasi online tertulis di Twitter, saat menanggapi cuitan Walkot Ridwan Kamil yang mengunggah perintah dari provinsi.

Ada juga yang mengeluhkan pemerintah setempat tidak mendengarkan suara konsumen. "Yang dirugikan dengan pengekangan transportasi online bukan cuma para driver tapi cuma kami masyarakat sebagai konsumen. Kenapa aturan dibuat tak mempertimbangkan konsumen".

Gugatan berirama seperti itu tak lagi hanya suara pekerja transportasi online. Masyarakat biasa yang selama ini merasa terbantu transportasi online pun merasa dirugikan sikap asal-asalan diperlihatkan Pemprov Jawa Barat. Apakah masalah ini harus menunggu pemerintah pusat turun tangan? Atau, kementerian terkait pun akan memilih mendiamkan masalah ini? Tampaknya masyarakat sebagai konsumen pun hanya bisa menunggu. Seperti halnya mereka yang terpaksa harus bekerja di sektor ini dengan menanggung risiko tetap harus mempertaruhkan nyawa demi beberapa rupiah. 

Semestinya, Pemprov setempat jangan bertebal muka di tengah kerisauan rakyatnya sendiri. Begitu juga Pemkot, mudah-mudahan tetap melakukan desakan kuat, dan membangunkan mereka yang berada di ruangan kantor yang lebih luas dan lebih mewah di sana agar bangun dari tidur; untuk melihat bahwa masyarakat yang menggantungkan hidup dari pekerjaan itu tak bisa hanya disuruh menghafalkan dan imbauan yang ditulis dengan mata tertutup.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun