Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Antara Zorro dan Akun Palsu di Jagat Internet

9 Oktober 2017   03:49 Diperbarui: 9 Oktober 2017   04:14 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Namun hoaks tak selalu lahir dari akun palsu - Foto: Lifehack

Dari zaman media sosial hanya lekat dengan chat beranonim hingga kini, ketika identitas tersembunyi pun mudah dilacak, ada banyak hal berubah dan masih banyak yang belum berubah. Itu tak lain tabiat bermedia sosial.

Banyak yang memilih "cuci tangan" dengan memainkan akun asli dengan wajah sebagai orang baik-baik, dan di saat yang sama menggunakan akun palsu untuk mewakili sisi palsu yang disimpan seseorang.

Kenapa mereka bermain akun palsu? Ada yang memang punya niat baik agar sisi baiknya tak membuatnya jemawa. Ini memang mirip cerita Zorro, di mana ia muncul dengan wajah lain meski hanya dengan sebuah topeng terbilang kecil, berikut atribut dan kepiawaian berbeda dari wajah aslinya.

Zorro, atau pemilik akun media sosial tipe ini tentu saja sulit disalahkan. Sebab itu pilihannya yang memang tak memiliki tendensi buruk. 

Pertanyaannya ada berapa banyak akun tipe Zorro ini? Jika saya simak-simak, dan menilai-nilai dengan penilaian subjektif saya, mungkin hanya sepertiga atau bahkan lebih kecil lagi.

Lebih sering, banyak juga yang memilih menggunakan akun palsu hanya untuk menyembunyikan ketidakberdayaan, perasaan rendah diri, hingga masalah kejiwaan yang ingin disamarkan.

Dengan akun palsu, seseorang merasa lebih leluasa dan bebas memainkan karaktsr apa saja yang dia inginkan. Sementara yang berakun asli, cenderung hanya dapat menampilkan diri apa adanya.

Menggunakan akun palsu nyaris tanpa risiko. Sebab yang mesti mereka hindari hanya agar tak terendus tim siber dari kepolisian. Sedangkan dari sesama pengguna media sosial, mereka seringkali tak terlalu menggubrisnya. Kecuali jika memang ada konflik atau sengketa, entah fitnah atau pencemaran nama baik, maka sesama pengguna media sosial pun dapat menggunakan kemampuan yang juga dimiliki tim siber kepolisian.

Mereka dapat saling usut, saling investigasi, hingga bersua; memilih mempersoalkannya atau memilih mendiamkan seraya menertawakan dalam hati jika bersua beberapa pengguna akun palsu yang memang acap percaya diri di jagat internet tapi rendah diri dalam realita sebenarnya.

Pemilik akun-akun palsu memang tak sepenuhnya jahat, tak selalu digunakan para penjahat, tapi tak berarti akan membuat mereka pun selamat dari berbuat jahat.

Sebab, akun palsu cenderung menjebak orang pada perasaan aman, takkan terendus, hingga mereka lengah. Ada juga yang waspada dari endusan orang-orang, tapi ia justru tak waspada pada diri sendiri. Alhasil, ketidakwaspadaan itu yang akhirnya menjadi bumerang; dari hilangnya pertemanan, jaringan, dan berbagai risiko lainnya.

Dua alasan dapat menjadi motif seseorang gemar menggunakan akun palsu; untuk sesuatu yang bertujuan sangat serius, entah untuk menjatuhkan seseorang atau menelusuri sesuatu, juga motif lain sekadar untuk bermain-main.

Saya menaruh respek pada mereka yang memilih tipe Zorro, sekadar untuk melakukan sesuatu yang tak leluasa mereka lakukan dengan "wajah asli". Syukur-syukur jika mereka memang cukup mampu mengendalikan diri dengan "permainan aman" lewat topeng Zorro mereka kenakan. 

Hanya saja, yang disayangkan adalah mereka yang bermain dua wajah hanya agar lancar melakukan kekejian demi kekejian dan ingin terlihat sebagai orang baik-baik. Ini cukup menggambarkan sebuah bentuk mental bermasalah; tak bisa menerima diri sendiri, ingin terlihat "wah", ingin tetap disanjung sebagai orang tanpa cacat, dan berbagai keinginan lain yang hanya dipahami mereka sendiri.

Bagaimana dengan Kompasiana?

Sejak awal saya bergabung di platform ini sekitar delapan tahun silam, dari Kompasiana masih mencari-cari bentuk, hingga kini makin lengket dengan berbagai inovasi; juga mengalami situasi mirip tren di media sosial umumnya.

Banyak juga yang gemar memainkan akun palsu untuk menghindari perasaan tidak enak, perasaan jengah, dan berbagai perasaan tidak menyenangkan. Ada yang mampu bertahan lama dengan pola tersebut, dan menemukan kenyamanan di sana, ada pula yang berhenti karena menyadari bahwa hal itu rentan menjebak pada kesia-siaan. 

Kompasiana sendiri besar tidak lepas dari keberadaan akun-akun palsu. Bahkan ada beberapa kasus besar dan punya "nilai berita" skala nasional, lahir dan diembuskan akun palsu.

Pihak Kompasiana sendiri tampaknya memang tak tinggal diam hingga mereka melakukan berbagai langkah untuk membendung itu. Misal saja dengan pendekatan lewat tawaran verifikasi, dari centang hijau hingga biru. Belakangan ada lagi pelabelan semisal Penjelajah, Maestro, Fanatik, dan sebagainya.

Label disebut terakhir sedikit mirip digunakan Kaskus--di mana saya zendiri, dengan akun palsu, sudah mencapai level Aktivis Kaskus, juga UCNews, Sebangsa.com dan beberapa platform lainnya.

Setidaknya apa pun motif dan landasan logika perubahan berbagai status itu, satu di antara banyak tujuan, tampaknya memang untuk menumbuhkan sebuah tren positif. Bahwa jika Anda memang memiliki produktivitas, kredibilitas, dan berbagai kelebihan lainnya, ada "penghargaan" yang menunggu Anda. Termasuk, jika Anda dapat tampil apa adanya sebagai pribadi, maka ada apresiasi tersendiri atas pilihan sikap tersebut.

Lalu, apakah itu akan mereduksi jumlah pengguna akun palsu? Sekali lagi, meski pihak Kompasiana punya niat mengurangi hal itu untuk mengangkat kredibilitas platform ini sendiri, tapi itu nyaris dapat dipastikan bukan prioritas.

Terlepas bukan prioritas, paling tidak di Kompasiana tak lagi sederas dulu--adanya pemilik akun palsu. Banyak yang semakin menyadari jika menampilkan diri apa adanya, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka akan lebih leluasa bagi mereka mengevaluasi diri dan memperbaiki diri.

Sederhananya, bagi mereka yang memiliki akun asli, ketika menemukan kesalahan yang mereka lakukan maka yang akan mereka perbaiki memang diri mereka sendiri. Saat mereka mulai memperbaiki diri dalam berinteraksi, berpikir, bersikap di jagat internet, bukan  tak mungkin perubahan positif itu juga akan terbawa dalam realita dan pergaulan sehari-hari.

Berbeda halnya dengan akun palsu, jika terseret dalam kesalahan, takkan  terlalu terbeban memperbaikinya, meski sisi buruk dari itu akan tetap menghantui diri mereka yang asli; termakan perasaan bersalah, atau merasa makin tersuruk dalam perasaan rendah diri. 

Di Kompasiana sendiri, saya banyak menemukan sahabat, tak sekadar teman, karena terbiasa terbuka dan apa adanya. Banyak dari mereka yang mengetahui sisi minus saya pribadi, tapi juga bisa mengetahui sisi baik saya. Akun asli saya gunakan di sini, acap membantu mempertemukan sahabat yang asli. Entah jika Anda ingin memiliki sahabat palsu, dan memiliki banyak hal yang palsu, tentunya itu bagian tanggung jawab Anda sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun