Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Soal Pemuka Agama Beristri Tiga

7 Oktober 2017   20:12 Diperbarui: 8 Oktober 2017   15:12 19067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terkadang lelaki harus melihat dengan nurani, tidak melupakan perasaan dan pandangan perempuan sendiri - Foto: Zulfikar Akbar

Membandingkan mana yang lebih baik antara poligami dengan layanan prostitusi rasanya tidak adil. Sebab, hemat saya, keduanya terbilang sama-sama ekstrem.

Kenapa, ya prostitusi tentu saja bukanlah sebuah pilihan atau sesuatu yang bisa memuliakan perempuan. Di sini, perempuan diposisikan sebagai dagangan; lelaki membayar, menuntaskan hasratnya, dan tak perlu pusing memikirkan apakah perempuan itu akan mendapatkan penyakit atau beban penghinaan dari masyarakat.

Bagaimana poligami? Lagi-lagi pilihan ini satu sisi terlihat "lebih suci" karena toh agama membenarkannya--terutama Islam, meski tak menganjurkan, tapi membenarkannya. Namun ada hal yang disederhanakan, seolah ketika agama membenarkan maka tak ada lagi yang perlu dipusingkan.

Padahal jika merujuk lagi ke sejarah Islam sendiri, kenapa Muhammad membenarkan pernikahan lebih dari satu istri, tak lain cuma sebagai jalan tengah karena ia datang di tengah budaya di mana para lelaki acap kali menikahi hingga puluhan atau bahkan ratusan perempuan. Jika di tengah budaya terlalu beraroma hegemoni maskulinitas itu ia langsung menetapkan seorang lelaki hanya dapat menikahi satu istri, boleh jadi ia akan mendapatkan perlawanan keras.

Apalagi bukan rahasia jika para lelaki sering tak memusingkan harus bertaruh nyawa hanya untuk dapat memenuhi urusan bawah perut. Ketika mereka terbiasa menikahi puluhan perempuan, seketika diatur hanya bisa satu istri saja, bukan tak mungkin berbagai risiko buruk dapat menimpa Muhammad. 

Teori Abraham Maslow sedikit banyaknya dapat menjadi acuan untuk memahami logika ini. Bahwa, ketika kebutuhan paling dasar tak terpenuhi sesuai "standar", akan sulit bagi siapa pun berpikir lebih jauh dan lebih bermartabat dari itu. Jadi bukan hal mengherankan jika karena urusan seks saja bisa membuat orang rela bunuh-bunuhan.

Maka itu, Muhammad dengan Islam sebagai ajaran yang dibawanya mencari jalan tengah dengan membenarkan hingga empat. Sekali lagi, itu bukan anjuran. Banyak intelektual Muslim berpandangan jika itu hanya cara agar membatasi hasrat seksual dan nafsu lelaki yang memang acap sulit dibendung jika tak ada alat kuat dan "moderat" untuk memagari mereka. Agama, sedikitnya, bisa menjadi "alat" untuk mengekang lelaki yang cenderung ingin mendominasi dan ingin memosisikan diri di atas perempuan.

Apalagi Muhammad sendiri memiliki beberapa istri bukan berangkat dari standar cantik-tidak cantik atau perawan-tidak perawan. Muhammad hanya memiliki satu istri yang perawan, yakni Aisyah. Selebihnya, sebagian besar adalah janda.

Bukan rahasia jika janda hingga kini acap diposisikan di tempat lebih rendah, dan sering menjadi sasaran tuduhan buruk, yang ringkasnya, mereka acap menjadi korban. Di sini Muhammad ingin menunjukkan jika para janda pun pantas dimuliakan, ia menginginkan mereka tetap dihormati.

Untuk zamannya, ia datang di tengah era yang diistilahkan dengan "jahiliyah" (bodoh, terbelakang, kolot), maka cara komunikasi untuk menjelaskan bagaimana agar menghormati para janda ini maka ia menikahi mereka.

Sederhananya, jika seseorang dinikahi oleh seorang "raja" maka perempuan tersebut akan dihormati sebagai istri raja, yang mau tak mau, harus dimuliakan. Lagi-lagi standar yang digunakan bukanlah mencari istri muda yang perawan, lebih cantik, lebih muda; melainkan yang lebih lemah agar bisa lebih kuat, yang dipandang rendah hingga dapat ditinggikan, dan berbagai tujuan lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun