Bukan hal asing bagi saya, jika sedang berkesempatan berjalan di kawasan tertentu yang memiliki akses yang sulit, untuk mengisi bahan bakar harus membayar dengan harga yang bikin tercekat. Katakanlah normalnya harga bensin hanya Rp 9 ribuan per liter, akan ada saja tempat yang menjualnya hingga Rp 20 ribu rupiah. Di masa lajang, jika harus ngapel,tak jarang jika konsumsi perut hanya 15 belasan ribu, tapi "ongkos tangki" bisa berpuluh-puluh ribu.
Itu baru satu cerita. Jika saya tambah dengan cerita pernikahan saya, jauh lebih banyak cerita lagi. Tapi tidak begitu, sebab saya hanya ingin merenung-renung sebuah "dosa" sebagai pengendara; yang mungkin termasuk paling boros.
Di masa lajang dulu---tapi jangan Anda bayangkan masa perang kemerdekaan---persoalan bahan bakar memang pernah menjadi cerita buruk bagi saya pribadi.
Bukan satu-dua kali bensin habis di tengah jalan saat sedang berkendara berpuluh kilometer, hanya untuk ke rumah pacar, menjadi salah satu persoalan tidak serius tapi bisa menjadi sangat serius. Lutut terasa ditumbuk Mike Tyson, lantaran harus memapah kendaraan roda dua berkilo-kilometer, hanya untuk mencari SPBU.
Hasilnya mudah ditebak, saat tiba di rumah pacar, badan terasa seperti petinju amatir yang lumat di tangan Tyson. Tak hanya itu, obrolan kecil berupa candaan pun bisa menjadi alasan merasa tersinggung. Lalu marah-marah. Lalu putus. Selesai.
Tapi cerita bahan bakar ini belum selesai.
Membuka-buka berbagai catatan, urusan bahan bakar itu memang serius. Toh, begal-begal yang dimassa pun di alam sana pasti tersadar, betapa seriusnya urusan bahan bakar. Atau, seorang suami yang terlambat pulang karena kehabisan bahan bakar di jalanan, namun istri di rumah mengira suaminya "parkir" dulu di tempat-tempat "tak terduga". Yang begini, suami pusing tujuh keliling mencari bahan bakar, istri justru bisa terbakar amarah tanpa memerlukan bahan bakar. Ya, hidup terkadang memang begitu.
Kalau ada yang bilang urusan bahan bakar tidaklah serius, mungkin mereka belum pernah menjadi begal---saya juga belum, sih, tapi sebaiknya jangan pernah. Atau, kemungkinan yang bilang itu sebagai hal tidak serius, karena belum pernah melihat istri kebakaran jenggot---ini boleh Anda bayangkan memiliki istri berjenggot.
Saya ingin cerita apa? Ya tentang betapa seringnya kita mengeluh hanya persoalan bahan bakar. Jarang kita mengintip bagaimana cerita di balik layar, bagaimana bahan bakar diangkut hingga ke pelosok-pelosok, berapa biaya distribusi, hingga apa saja sih kesulitan urusan angkut-mengangkut itu.
Saya sendiri "terlambat mendapatkan hidayah". Maksud saya, baru makin ngeh jika distribusi ke daerah-daerah itu memang lebih menyita tenaga dan memiliki kesulitan tersendiri. Jika Anda selama ini merasa sulit membuat istri membatalkan amarahnya, urusan distribusi minyak ini jauh lebih sulit.
Misal saja ke Papua. Jika belum pernah ke sana, dan hanya mengenalnya melalui peta, sebaiknya silakan membuka diri menyimak-nyimak bagaimana cerita penyaluran bahan bakar ke sana.
Bayangkan saja bagaimana rumitnya cerita pengiriman bahan bakar. Tapi beruntunglah, belakangan ada niat mulia pemerintah lewat Pertamina, menggerakkan salah satu misi yang disebut BBM Satu Harga---jika Anda masih lajang dan berharap maskawin seluruh dunia pun satu harga, itu sebaiknya tunggu dulu.
Ya, dengan misi seperti BBM Satu Harga itu, di Kecamatan Ilaga, Papua, yang sebelumnya harga premium bisa mencapai 50-100 ribu per liter, kini justru hanya seharga Rp 6.450. Atau Solar, seperti di Kecamatan Anggi, Papua Barat, harga solar sebelumnya menyentuh harga Rp 15-30 ribu, kini hanya Rp 5.150.
Maksud saya, mungkin termasuk saya sendiri pelakunya, saban mendengar harga BBM naik, kita lebih sering teriak-teriak. Ya, tak sepenuhnya salah juga, karena ini alam demokrasi. Tapi mbokya, kenapa berteriaknya hanya melulu karena merasa diri sendiri dirugikan, tapi jarang membicarakan nasib saudara-saudara sebangsa yang kerap hanya dapat mengadukan keluh kesahnya dalam diam, nrimo.
Kita justru membuat kendaraan pun, sering terjadi, mengikuti kerakusan kita sendiri. Bagaimana tidak, secara konsumsi Pertamax dan Pertalite, sebagai contoh, ternyata per kuartal I 2017 saja, kita telah "menenggak bensin" hingga 33.513 kiloliter hari. Bandingkan dengan tahun lalu, hanya 31.030 kiloliter per hari.
Ya, katakanlah sekarang jumlah penduduk bertambah, bisa menjadi alasan sehingga kita menjadi "penenggak" BBM yang lebih banyak. Tapi, tentu saja anak kita yang lahir tahun lalu, tak lantas tahun ini langsung akrab dengan SPBU bukan? Setidaknya ada salah satu langkah penting dilakukan pemerintah, termasuk ide Satu Harga, yang sempat saya singgung di atas.
Terlebih lagi, urusan bahan bakar minyak tidaklah sesederhana cerita pria yang putus dengan pacar hanya karena tangki motor mengering. Maka itu, saat ini ada 6.454 SPBU ada di seluruh Indonesia, selain juga terdapat 2.856 mobil tangki. Upaya pihak Pertamina agar distribusi lebih meluas, juga dengan tercatat adanya 227 kapal tanker---meski sebagian di antaranya harus disewa.
Dari enam unit kilang sejauh ini, telah ada 66 depot pengisian pesawat udara, hingga 116 terminal BBM. Dari 116 terminal itulah, bahan bakar turut menjelajah keliling Nusantara. Â Bahkan ke Papua yang terkenal bermedan sulit, pemerintah lewat "tangan kanan" bernama Pertamina juga mengerahkan kekuatan moda transportasi darat, laut/sungai, hingga udara.
Selama ini, kita, terutama saya, mungkin lebih banyak memilih menggerutu, tanpa peduli pada apa yang terjadi. Terkadang ajakan berhemat bahan bakar saja sering jadi sasaran prasangka bahwa itu hanya ajakan kepentingan pemerintah saja. Itulah wajah kita, sekarang. Entah kelak ketika cadangan bahan bakar habis karena kerakusan kita sendiri yang "menenggaknya" tanpa peduli apa-apa.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H