"Jawa adalah kunci!" adalah kalimat yang sempat meletup dari salah satu petinggi Partai Komunis Indonesia, di ruangan dipenuhi asap rokok, di tengah beberapa pengurus inti organisasi tersebut. Tentu saja, itu hanya bagian dari adegan di film Pengkhianatan G30S. Namun juga mewakili kesan jika organisasi itu hanya meraksasa di Jawa. Sedangkan saya pribadi punya pengalaman yang bersentuhan langsung dengan orang-orang yang pernah dilabeli PKI dan serdadu yang pernah turut membantai anggota partai tersebut, yang justru berada di Aceh.
"Saat saya masih di 'dinas' dulu--untuk menyebut TNI--saya termasuk salah satu yang menjagal mereka," begitu cerita Pak Let, sapaan salah satu eks tentara era Orde Lama. "Saat mendapatkan tugas itu, yang ada di pikiran kami, ini adalah tugas dari negara dan kami sejujurnya memang menjalankan tugas itu dengan bangga."
Ya, itu pengakuan salah satu eks prajurit yang sempat terlibat dalam operasi "ganyang PKI" di era 1960-an. Kebetulan, beliau adalah tetangga saya sendiri. Bukan purnawirawan, karena beliau sendiri di masa mudanya adalah desertir alias keluar dari dinas ketentaraan secara tidak resmi. "Gaji sedikit, tugas terlalu berat. Taruhannya nyawa," begitu cerita beliau, setiap kali bercerita pengalaman masa muda beliau.
Apakah ada perasaan bersalah? Tentu saja ada. Salah satu alasan beliau akhirnya memutuskan desersi juga lantaran dihantui perasaan bersalah itu. "Saat menghajar PKI itu memang yang ada cuma perasaan bangga. Beberapa lama, ya tetap terasa, bagaimanapun mereka juga manusia dan sebagian memang kita kenal dekat, bahkan beberapa di antaranya adalah tetangga kita juga."
Perbincangan saya dengan beliau ini bukanlah perbincangan sehari dua hari. Nyaris saban waktu bersua beliau, saya mengorek ceritanya. Terutama setiap kali beliau pulang dari meurandeh--sebutan Aceh untuk ladang di kawasan pegunungan, ia bisa bercerita pengalamannya dengan mulut berbusa-busa.Â
Perbincangan dengan beliau sudah terbilang sangat lama. Ya, ketika saya masih sekolah di tahun 1990-an hingga bangku kuliah, dan beliau tak jarang mengulang-ulang cerita yang sama. Terkadang terasa bosan, tapi dengan terpaksa saya dengarkan. Hanya untuk menghormatinya.
Sekarang ketika isu PKI menyeruak lagi, cerita beliau bangkit lagi di benak saya. Ya, karena di sana ada pengakuan, terlepas ketika ia turut menumpas PKI tak ada perasaan belas kasihan, namun hati kecilnya tak bisa ditutupi selamanya. Ketika beranjak usia tua, ada perasaan sedih menggelayut di hati dan merisaukan pikirannya.
"Terkadang, yang betul-betul dekat, yang kita yakini betul dia tidak terlibat, ada juga kita usahakan untuk menyelamatkan dengan berbagai cara. Termasuk menyuruhnya menghilang untuk beberapa lama ke kawasan pegunungan yang tak terendus militer," begitulah cerita beliau, dalam bahasa Aceh kental. "Sebab memang saat itu ada yang cuma pernah menerima bantuan cangkul atau parang sebagai alat kerja, justru masuk daftar merah--sebagai PKI dan harus dilenyapkan."
Menarik. Sebab rumah mantan serdadu ini sendiri justru tak terlalu jauh dari salah satu penduduk lain yang juga sempat divonis PKI, sempat merasakan penjara, namun selamat dari pembantaian--entah bagaimana caranya selamat luput saya telusuri mendalam.
Sosok yang disebut PKI ini tetap harus menerima stempel tersebut hingga anak cucunya--sebagai anak PKI dan cucu PKI. Beruntung, ia mampu membuktikan jika dirinya tidaklah seperti dituduhkan, terlebih dia pun salat, rajin ke masjid, dan anak-anaknya pun belakangan mampu menghapus dengan cara terbilang istimewa; menempuh pendidikan tinggi, hingga melampaui pendidikan kebanyakan penduduk di kampung itu.
Terlepas stempel itu tetap melekat pada sosok Cek Dawod--bukan nama sebenarnya--namun karena keberhasilan anak-anaknya di kemudian hari, tak lagi terlalu membawa pengaruh buruk kepada keluarganya. Ia masih dapat hidup normal, meski di belakangnya tak sedikit bisik-bisik bermunculan, yang tak jauh dari pengalaman masa lalunya yang dituding sebagai tokoh PKI di zaman tersebut.
Entah karena trauma, atau karena ingin mengubur masa lalunya dalam-dalam, hingga selama sekitar 15 tahun bertetangga dengan beliau nyaris tak ada cerita dari mulutnya sendiri tentang pengalamannya di zaman itu. Yang justru fasih bercerita yang berhubungan dengan kiprah beliau saat itu justru beberapa aparat kampung lainnya yang berusia tak jauh darinya.Â
Ada yang bisa bercerita dengan memahami zaman itu politik memang sulit digambarkan cukup jelas. Terlebih kampung tersebut di zaman Orde Lama, betul-betul hanya kampung yang dikelilingi pesawahan saja. Sementara para tokoh PKI gemar menyasar para petani yang ada di kampung itu. Dari sekian nama yang ada, hanya beliau yang selamat. Selebihnya, konon lebih banyak dibantai sesama anggota masyarakat alih-alih melibatkan militer.
Keberadaan PKI di Aceh memang tak semasif cerita di kawasan lainnya di Indonesia. Namun bagi kalangan pegiat politik hingga kalangan pers yang berkiprah di Aceh tak asing lagi dengan nama Thaib Adamy yang disebut-sebut sebagai pengurus Komite PKI Aceh. Beliau termasuk yang terbilang beruntung lantaran tak menjadi sasaran pembantaian.
Thaib--orang Aceh acap menyebutnya Tayeb--masih dapat menjalani proses peradilan di Pengadilan Negeri Sipil. Itu juga karena latar belakang beliau yang terbilang memiliki pengaruh kuat, selain juga pemahaman keislaman beliau yang tinggi, sehingga mencegah terjadinya pembantaian atasnya.
Jika ditelisik, keberadaan beliau di organisasi kiri itu ada kemiripan dengan Haji Misbach di Solo. Ya, dua figur yang berada di dua era berbeda ini memiliki kemiripan lantaran sama-sama memiliki akar keislaman yang kuat, namun tertarik pada organisasi kiri hanya karena berpandangan ada benang merah antara komunisme dan Islam pada sisi visi untuk memperkuat masyarakat marginal dan membantu kesejahteraan masyarakat miskin.
Tak heran jika saat proses pengadilan atas sosok Teungku Tayeb ini, ada banyak surat hingga petisi dukungan kepada beliau, karena karisma, keilmuwan, dan pengaruhnya di tengah masyarakat. Bahkan ada catatan yang menyebut ketika proses pengadilan yang memakan waktu lebih dari lima jam, ada ribuan penduduk mendatangi pengadilan untuk memberikan dukungan kepada beliau--terlepas penduduk tersebut tak ada sangkut paut dengan PKI.
Di antara bukti yang menguatkan jika beliau memiliki keterkaitan kuat dengan organisasi itu adalah pidato yang memang jamak diketahui masyarakat Aceh, diadakan di Sigli--yang berada di antara Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Pidato itu sendiri dilakukannya pada 3 Maret 1963, dan di antara isinya adalah teriakan lantangnya bahwa sistem kapitalisme merupakan musuh bagi rakyat miskin. Itu juga disampaikan saat beliau masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dari PKI.
Atjehpost.com,pun pernah menayangkan liputan tentang sosok Tayeb tersebut, meski tak diikuti dengan reportase yang lebih menyasar kalangan akar rumput yang juga pernah terlibat di organisasi PKI. Namun pidato itulah yang belakangan menyeretnya ke pengadilan, dan dikabarkan hanya dihukum selama dua tahun, yang terbilang jauh lebih ringan dari sebagian pengurus hingga kader tingkat bawah PKI yang tak jarang menemui ajal di jalanan hingga pesawahan kampung-kampung.
Ya, polemik PKI dan cerita seputar mereka tak hanya di Jawa. Ia juga pernah hadir dan tumbuh di Aceh, namun masih ada yang pantas disyukuri adalah angka pembantaian di sana tak sampai setragis di Jawa yang konon mencapai angka jutaan. Sebagian mereka selamat, lantaran partisipasi di organisasi kiri itu hanyalah dalam kegiatan politik, tanpa menanggalkan identitas mereka sebagai muslim, yang tetap beribadah dan tetap bersujud di sajadah-sajadah meunasah gampong (masjid).*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H