Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merekam Jejak PKI dari Ujung Sumatra

20 September 2017   01:38 Diperbarui: 20 September 2017   09:47 8220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat yang dituduh PKI acap harus berurusan dengan kematian di masa lalu - Dok. Tirto.ID

Entah karena trauma, atau karena ingin mengubur masa lalunya dalam-dalam, hingga selama sekitar 15 tahun bertetangga dengan beliau nyaris tak ada cerita dari mulutnya sendiri tentang pengalamannya di zaman itu. Yang justru fasih bercerita yang berhubungan dengan kiprah beliau saat itu justru beberapa aparat kampung lainnya yang berusia tak jauh darinya. 

Ada yang bisa bercerita dengan memahami zaman itu politik memang sulit digambarkan cukup jelas. Terlebih kampung tersebut di zaman Orde Lama, betul-betul hanya kampung yang dikelilingi pesawahan saja. Sementara para tokoh PKI gemar menyasar para petani yang ada di kampung itu. Dari sekian nama yang ada, hanya beliau yang selamat. Selebihnya, konon lebih banyak dibantai sesama anggota masyarakat alih-alih melibatkan militer.

Keberadaan PKI di Aceh memang tak semasif cerita di kawasan lainnya di Indonesia. Namun bagi kalangan pegiat politik hingga kalangan pers yang berkiprah di Aceh tak asing lagi dengan nama Thaib Adamy yang disebut-sebut sebagai pengurus Komite PKI Aceh. Beliau termasuk yang terbilang beruntung lantaran tak menjadi sasaran pembantaian.

Thaib--orang Aceh acap menyebutnya Tayeb--masih dapat menjalani proses peradilan di Pengadilan Negeri Sipil. Itu juga karena latar belakang beliau yang terbilang memiliki pengaruh kuat, selain juga pemahaman keislaman beliau yang tinggi, sehingga mencegah terjadinya pembantaian atasnya.

Jika ditelisik, keberadaan beliau di organisasi kiri itu ada kemiripan dengan Haji Misbach di Solo. Ya, dua figur yang berada di dua era berbeda ini memiliki kemiripan lantaran sama-sama memiliki akar keislaman yang kuat, namun tertarik pada organisasi kiri hanya karena berpandangan ada benang merah antara komunisme dan Islam pada sisi visi untuk memperkuat masyarakat marginal dan membantu kesejahteraan masyarakat miskin.

Tak heran jika saat proses pengadilan atas sosok Teungku Tayeb ini, ada banyak surat hingga petisi dukungan kepada beliau, karena karisma, keilmuwan, dan pengaruhnya di tengah masyarakat. Bahkan ada catatan yang menyebut ketika proses pengadilan yang memakan waktu lebih dari lima jam, ada ribuan penduduk mendatangi pengadilan untuk memberikan dukungan kepada beliau--terlepas penduduk tersebut tak ada sangkut paut dengan PKI.

Di antara bukti yang menguatkan jika beliau memiliki keterkaitan kuat dengan organisasi itu adalah pidato yang memang jamak diketahui masyarakat Aceh, diadakan di Sigli--yang berada di antara Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Pidato itu sendiri dilakukannya pada 3 Maret 1963, dan di antara isinya adalah teriakan lantangnya bahwa sistem kapitalisme merupakan musuh bagi rakyat miskin. Itu juga disampaikan saat beliau masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dari PKI.

Atjehpost.com,pun pernah menayangkan liputan tentang sosok Tayeb tersebut, meski tak diikuti dengan reportase yang lebih menyasar kalangan akar rumput yang juga pernah terlibat di organisasi PKI. Namun pidato itulah yang belakangan menyeretnya ke pengadilan, dan dikabarkan hanya dihukum selama dua tahun, yang terbilang jauh lebih ringan dari sebagian pengurus hingga kader tingkat bawah PKI yang tak jarang menemui ajal di jalanan hingga pesawahan kampung-kampung.

Ya, polemik PKI dan cerita seputar mereka tak hanya di Jawa. Ia juga pernah hadir dan tumbuh di Aceh, namun masih ada yang pantas disyukuri adalah angka pembantaian di sana tak sampai setragis di Jawa yang konon mencapai angka jutaan. Sebagian mereka selamat, lantaran partisipasi di organisasi kiri itu hanyalah dalam kegiatan politik, tanpa menanggalkan identitas mereka sebagai muslim, yang tetap beribadah dan tetap bersujud di sajadah-sajadah meunasah gampong (masjid).*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun