Anda pernah mendengar guyon yang menyebut bahwa gaji mirip menstruasi? Ya, kita mungkin sama-sama pernah mendengar itu. Lantaran bukan rahasia jika banyak yang bekerja selama sebulan, lalu mendapatkan gaji yang hanya sekali sebulan, tapi habis dalam sepekan. Lamunan ini bangkit lagi saat sekitar sepekan lalu berada di Artotel Thamrin, di acara Kompasiana Nangkring dengan Lembaga Penjamin Simpanan.
Saya juga termasuk "korban menstruasi". Maksudnya, pernah menjadi korban kepolosan sendiri dalam mengatur keuangan, sehingga gaji sebulan habis sepekan. Terutama saat saya masih berstatus perjaka. Sedangkan sejak keperjakaan saya terenggut (baca: menikah), urusan uang sudah lebih tertata. Terlebih istri pun memiliki bakat istimewa, bisa berperan selayaknya security penjaga bank, yang bisa memasang wajah sangar jika ada nasabah ke "bank" terus menerus hanya untuk menghabiskan tabungan.
Maksud saya, ada perubahan sudut pandang antara di masa sebelum menikah dengan setelah menikah. Sebelum menikah, uang tak terlalu penting kecuali sekadar untuk makan, pakaian, dan bisa berkumpul dengan teman-teman. Lagi juga, entah kenapa, nyarirezeki sebelum menikah pun terasa lebih sulit daripada setelah menikah. Saat memiliki pekerjaan tetap pun, saat rezeki sudah lebih mudah, menjaganya yang jadi lebih sulit.
Artinya, itulah kenapa semua bank memiliki "security",dan seorang pria berstatus suami pun layak mensyukuri memiliki istri yang memiliki "bakat istimewa" seperti saya ceritakan di atas tadi. Jadi, sebelum menikah yakinkan Anda memiliki nyali dan terbiasa dengan sikap security,eh maksud saya terbiasa mengalah dengan ketatnya pergerakan Anda ke bank. Sebab, dengan istri begini, memang ia bisa berwajah seram jika Anda ke bank atau ke ATM hanya untuk menarik tabungan yang ada, tapi ia bisa berubah berseri-seri secantik Syahrini jika ke bank untuk menambah jumlah rekening. Setidaknya ini juga saya alami.
Acara dibikin Kompasiana tempo hari pun saya datangi dengan istri, lantaran acara begini sejujurnya saya lihat mirip "kelas belajar" yang penting. Sebab bagi saya, menjadi seorang ayah, sebagai suami, tak berarti harus berhenti belajar. Kenapa memboyong istri? Sebab saya bukan pria cukup lihai berceramah panjang lebar dengan istri, meski pernah punya pengalaman menjadi penceramah bakda subuh dan khatib Jumat. Terlebih, urusan bicara dengan istri, tak semua penceramah dengan jam terbang tinggi dapat leluasa membuka mulut lantaran berisiko terjadinya aksi-aksi hooligansdi dunia sepak bola, bukan?
Ah, saya tak bisa bicara panjang lebar soal tabungan dan istri dengan cara "nista" begini, sebab ini juga berisiko keluarnya kartu kuning hingga kartu merah yang bisa bikin saya tidur "di luar stadion".
Yap, meskipun saya mengawali artikel ini dengan guyon, namun faktanya memang begitu. Saat telah berstatus sebagai suami, sebagai ayah, isi kepala lebih banyak tersita untuk memikirkan bagaimana kebutuhan sehari-hari tetap terpenuhi dan di sisi lain isi rekening pun harus bertambah. Teringat peribahasa daerah saya, Aceh, uleu beumatee ranteng bek patah,jika diterjemahkan kasar, bagaimana membunuh ular yang membahayakan tanpa membuat pemukul berupa ranting patah.
Setidaknya dari sanalah, sebagai mantan jomblo akut yang harus memburu calon istri hingga sekian provinsi, dapat melihat bagaimana mengubah sudut pandang itu memang membutuhkan kondisi tertentu. Meskipun mungkin juga jika ada yang bisa berubah sendiri bak mendapatkan mukjizat, tanpa perlu pengalaman tertentu untuk membuatnya berubah.
Apakah itu berarti butuh desakan dari orang lain? Tidak juga, melainkan lebih ke sisi bagaimana membangun pikiran baru dalam situasi baru, saat dulu berstatus "belum terenggut keperjakaan" (baca: belum menikah) dengan situasi setelah menikah. Ya berabejika kondisi baru harus dihadapi dengan pola pikir lama, bukan?
Sedikitnya, saat acara Kompasiana Nangkring tempo hari saat saya juga memboyong anak istri tadi, jadi lebih teryakinkan jika pola pikir mutlak menjadi hal penting jika bicara "cerdas finansial". Memang di acara itu tidak diangkat tema, "Bagaimana Menjadi Suami agar Selalu Disayang Istri", sebab ini memang idealnya cukup jadi peran penasihat perkawinan saja, dan tidak lucu tentunya jika Lembaga Penjamin Simpanan pun turun tangan untuk peran baru sebagai Lembaga Penjamin Rumah Tangga.
Ada masukan dari Samsu Adi Nugroho, Sekretaris Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang hadir di acara Kompasiana Nangkring saat itu. Satu hal di antara yang perlu diperhatikan menurutnya--dengan bahasa saya--jangan menjadi suami galau soal bagaimana menabung dan bagaimana menepis keraguan yang acap menyesatkan.
Samsu menyebut, "Banyak yang ragu menabung hanya karena terpikir yang tidak-tidak, bagaimana jika bank bangkrut atau dilikuidasi." Padahal, iya juga--berkaca ke pengalaman masa perjaka--acap memutuskan isi rekening lenyap tak berbekas karena alasan awalnya agar lebih aman di rumah dan kemudian hari justru habis begitu saja.
"Padahal, menyimpan uang di rumah pun bukan tanpa risiko," Sekretaris LPS itu mengingatkan. "Sebab berbagai kemungkinan yang tak dapat kita duga semisal kebakaran atau banjir bisa saja terjadi kapan saja. Tentunya jika terjadi seperti itu, ke mana bisa menuntut? Berbeda jika kita memilih menabung di bank saja, maka kemungkinan risiko sangat kecil, karena di sini ada Lembaga Penjamin Simpanan yang memang menjamin berbagai kemungkinan itu."
Lalu apa hubungan dengan pola pikir sebagai "bapak rumah tangga"? Ya, dalam cara melihat itu, betapa ketika berstatus tak lagi perjaka lebih baik berpikir yang tepat, tak lagi berpikir meludeskan angka di rekening dan berdalih menyimpan di rumah karena pilihan itu memang rentan bikin kepala lebih cepat mengeriput. Toh, saat telah menikah pun saya pernah mencoba bagaimana jika seluruh isi rekening dibawa pulang ke rumah saja daripada membiarkannya di rekening. Hasilnya? Ludes sebelum waktunya, dan ini tentunya saya tak bisa berdalih dan menyalahkan Mas Tuyul telah menghabiskan uang itu bukan?
Kembali ke acara tadi, perwakilan dari LPS itu juga mengakui jika uang tabungan itu tak hanya mengendap begitu saja, tapi bank juga bisa meminjamkannya kepada pengusaha atau bahkan pemerintah untuk membangun sebuah usaha hingga membangun berbagai fasilitas.Â
"Bahkan pemerintah pun jika meminjam uang kita yang ada di bank, tetap ada tempo yang di mana mereka harus membayarnya. Jadi tak perlu khawatir bahwa jika uang itu dipinjamkan ke pihak yang membutuhkan lalu Anda berisiko kehilangan uang di tabungan," kata Samsu Adi Nugroho, dari LPS. "Justru dengan menabung kita turut membangun negara ini, karena uang yang kita simpan itu dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal yang bermanfaat untuk semua orang--dan tabungan kita pun tetap utuh, dan dikuatkan adanya LPS."
Itu juga diamini Rachman Abdul Rachim dan Gilang. Anda belum kenal mereka? Ya, mereka pendiri usaha makanan sea foodyang sedang melejit karena dari berjualan kepiting, mereka menangguk keuntungan tak kurang dari 200 juta sebulan. Nama usaha mereka pun unik, Kepiting Nyinyir,yang menerapkan inovasi lewat dagangan makanan tanpa perlu membuka tempat hingga memakan banyak tempat.
Rachman menyebut, "Kami, sebelum mendirikan usaha Kepiting Nyinyir memang sempat menjadi karyawan dan merasakan bagaimana terkadang gaji habis sebelum waktunya. Kemudian, dengan teman-teman, kami berpikir bagaimana dengan kemampuan yang ada, masing-masing urunanmasing-masing satu juta, lalu kami mendirikan usaha tersebut," dia bercerita. "Sekarang alhamdulillah,kami memiliki pemasukan sampai 200 juta dalam sebulan. Namun kami hanya mengambil uang dari rekening hanya untuk keperluan mendesak, yang hanya sesuai kebutuhan."
Rachman dengan Gilang mungkin tak bermaksud menyindir saya yang agak terlambat "mendapat hidayah" dalam melihat dan mengelola uang, tapi saya sendiri memang sempat tercenung. Betapa, di usia mereka yang masih di bawah jumlah uban di kepala saya, mampu berpikir jauh ke depan. Terbayang bagaimana jika para jomblo se-Indonesia punya pola pikir seperti mereka, didukung lagi "bapak rumah tangga" yang terlambat tercerahkan seperti saya mulai mengubah sudut pandang, tentang uang dan tabungan.
Mereka yang masih berusia 20-an tahun itu tak lagi sekadar berpikir bahwa mereka diuntungkan dengan usaha yang mereka jalani, tapi mereka juga melihat dengan menabung mereka pun telah turut membantu membangun negara. Bagaimana dengan yang telah berumah tangga? Menabung memang tak hanya membuat rumah tangga memiliki tangga-tangga lebih kokoh untuk ke tempat lebih tinggi dalam hidup, tapi dari sana juga turut membantu negara.
Saya sendiri turut bersyukur memiliki istri dengan bakat security,lantaran sejak menikahlah saya baru memiliki dua buku rekening meski dua-duanya tetap atas nama saya sendiri. Kenapa? Dengan dua buku rekening juga menjadi satu cara saya untuk mengelola keuangan, memisahkan rekening untuk gaji dan pemasukan di luar pekerjaan utama, untuk sebagian disisihkan ke rekening lainnya untuk sepenuhnya sebagai simpanan. Ini menjadi salah satu cara yang memang saya ambil, sebab keuangan pun perlu diatur agar tak kalah cepat dalam jumlah dibandingkan dengan jumlah uban yang acap lebih melesat. Selain, ya, agar tangga-tangga masa depan terbangun lebih kokoh, yang dimulai dari rumah tangga.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H