Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Setelah Gaji Meniru Siklus Menstruasi

19 Agustus 2017   15:24 Diperbarui: 19 Agustus 2017   19:24 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda pernah mendengar guyon yang menyebut bahwa gaji mirip menstruasi? Ya, kita mungkin sama-sama pernah mendengar itu. Lantaran bukan rahasia jika banyak yang bekerja selama sebulan, lalu mendapatkan gaji yang hanya sekali sebulan, tapi habis dalam sepekan. Lamunan ini bangkit lagi saat sekitar sepekan lalu berada di Artotel Thamrin, di acara Kompasiana Nangkring dengan Lembaga Penjamin Simpanan.

Saya juga termasuk "korban menstruasi". Maksudnya, pernah menjadi korban kepolosan sendiri dalam mengatur keuangan, sehingga gaji sebulan habis sepekan. Terutama saat saya masih berstatus perjaka. Sedangkan sejak keperjakaan saya terenggut (baca: menikah), urusan uang sudah lebih tertata. Terlebih istri pun memiliki bakat istimewa, bisa berperan selayaknya security penjaga bank, yang bisa memasang wajah sangar jika ada nasabah ke "bank" terus menerus hanya untuk menghabiskan tabungan.

Maksud saya, ada perubahan sudut pandang antara di masa sebelum menikah dengan setelah menikah. Sebelum menikah, uang tak terlalu penting kecuali sekadar untuk makan, pakaian, dan bisa berkumpul dengan teman-teman. Lagi juga, entah kenapa, nyarirezeki sebelum menikah pun terasa lebih sulit daripada setelah menikah. Saat memiliki pekerjaan tetap pun, saat rezeki sudah lebih mudah, menjaganya yang jadi lebih sulit.

Artinya, itulah kenapa semua bank memiliki "security",dan seorang pria berstatus suami pun layak mensyukuri memiliki istri yang memiliki "bakat istimewa" seperti saya ceritakan di atas tadi. Jadi, sebelum menikah yakinkan Anda memiliki nyali dan terbiasa dengan sikap security,eh maksud saya terbiasa mengalah dengan ketatnya pergerakan Anda ke bank. Sebab, dengan istri begini, memang ia bisa berwajah seram jika Anda ke bank atau ke ATM hanya untuk menarik tabungan yang ada, tapi ia bisa berubah berseri-seri secantik Syahrini jika ke bank untuk menambah jumlah rekening. Setidaknya ini juga saya alami.

Acara dibikin Kompasiana tempo hari pun saya datangi dengan istri, lantaran acara begini sejujurnya saya lihat mirip "kelas belajar" yang penting. Sebab bagi saya, menjadi seorang ayah, sebagai suami, tak berarti harus berhenti belajar. Kenapa memboyong istri? Sebab saya bukan pria cukup lihai berceramah panjang lebar dengan istri, meski pernah punya pengalaman menjadi penceramah bakda subuh dan khatib Jumat. Terlebih, urusan bicara dengan istri, tak semua penceramah dengan jam terbang tinggi dapat leluasa membuka mulut lantaran berisiko terjadinya aksi-aksi hooligansdi dunia sepak bola, bukan?

Ah, saya tak bisa bicara panjang lebar soal tabungan dan istri dengan cara "nista" begini, sebab ini juga berisiko keluarnya kartu kuning hingga kartu merah yang bisa bikin saya tidur "di luar stadion".

Yap, meskipun saya mengawali artikel ini dengan guyon, namun faktanya memang begitu. Saat telah berstatus sebagai suami, sebagai ayah, isi kepala lebih banyak tersita untuk memikirkan bagaimana kebutuhan sehari-hari tetap terpenuhi dan di sisi lain isi rekening pun harus bertambah. Teringat peribahasa daerah saya, Aceh, uleu beumatee ranteng bek patah,jika diterjemahkan kasar, bagaimana membunuh ular yang membahayakan tanpa membuat pemukul berupa ranting patah.

Menabung sama artinya membuat tangga yang kokoh untuk masa depan - Foto: Zulfikar Akbar
Menabung sama artinya membuat tangga yang kokoh untuk masa depan - Foto: Zulfikar Akbar
Kutipan dari daerah saya itu tadi sebagai analogi, yang memang mengajarkan kejelian, kecerdikan, dan kecermatan. Meskipun benar, dalam kondisi genting jarang kita berpikir jauh hingga mengkalkulasi bagaimana membuat "ranting tidak patah".

Setidaknya dari sanalah, sebagai mantan jomblo akut yang harus memburu calon istri hingga sekian provinsi, dapat melihat bagaimana mengubah sudut pandang itu memang membutuhkan kondisi tertentu. Meskipun mungkin juga jika ada yang bisa berubah sendiri bak mendapatkan mukjizat, tanpa perlu pengalaman tertentu untuk membuatnya berubah.

Apakah itu berarti butuh desakan dari orang lain? Tidak juga, melainkan lebih ke sisi bagaimana membangun pikiran baru dalam situasi baru, saat dulu berstatus "belum terenggut keperjakaan" (baca: belum menikah) dengan situasi setelah menikah. Ya berabejika kondisi baru harus dihadapi dengan pola pikir lama, bukan?

Sedikitnya, saat acara Kompasiana Nangkring tempo hari saat saya juga memboyong anak istri tadi, jadi lebih teryakinkan jika pola pikir mutlak menjadi hal penting jika bicara "cerdas finansial". Memang di acara itu tidak diangkat tema, "Bagaimana Menjadi Suami agar Selalu Disayang Istri", sebab ini memang idealnya cukup jadi peran penasihat perkawinan saja, dan tidak lucu tentunya jika Lembaga Penjamin Simpanan pun turun tangan untuk peran baru sebagai Lembaga Penjamin Rumah Tangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun