Pesan apa yang bisa diambil dari fenomena ini? Ya, tak ada yang bisa betul-betul mengandalkan perasaan sebagai "pihak lebih kuat" di tengah dunia media sosial. Jadi, kewaspadaan dan kejelian membaca kecenderungan massa di dunia maya menjadi hal yang tak dapat diremehkan.
Sebab ketika sesuatu menjadi viral, terutama hal yang buruk, maka itu dapat saja mematikan. Maka itu, kepekaan pada membangun citra intitusi hingga pribadi lewat hal-hal berpotensi viral, kini menjadi vital. Jika tidak, fatal.
Ini pernah diingatkan seorang pakar yang pernah menulis buku Contagious: Why Things Catch On. Ya, dia Jonah Berger, lulusan Stanford Univesity dan hasil penelitiannya acap jadi rujukan The Economist, The New York Times, hingga The Wall Street Journal.
"Informasi saat ini dapat berkembang dan meluas dengan sangat cepat," katanya. Jadi menurutnya, salah satu hal paling cepat meraksasa di dunia media sosial dan internet umumnya, salah satu di antaranya adalah hal-hal yang menyentuh emosi atau perasaan. Ringkasnya, when we care, we share. Dan inilah yang hingga kini acap melahirkan kekuatan yang membawa dampak sangat besar, entah untuk transfer hal-hal positif, atau membuat sebuah borok menjadi berita dunia.
Jadi, di tengah fenomena ini, tetap membuka mata lebar-lebar sejak bangun tidur menjadi hal krusial. Terutama, ya bagi siapa saja, entah ada nama institusi atau perusahaan di belakangnya, atau bahkan hanya bergerak atas nama pribadi.
Jangan sampai, mudah-mudahan, kita pun menjadi pengendara yang sempat viral tempo hari; berniat ingin menjatuhkan lawannya dengam bercerita dirinya salah mengambil jalan, malah ia sendiri dikuliti "para lebah" yang sekilas kecil dan nyaris tak terdengar suara, tapi dapat "membantai" tanpa kenal ampun.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H