Saya yakin, sepanjang Muhadkly alias Acho berprofesi sebagai komedian, baru kali ini dia menghadapi komedi sebenarnya. Betapa ketika dia ingin bicara apa adanya, pihak pengelola apartemen Green Pramuka City, PT Duta Paramindo Sejahtera, yang ia kritik justru memilih "bunuh diri".
Kenapa saya sebut pihak pengelola itu bunuh diri? Sederhana, karena mereka lebih menampilkan diri sebagai pihak yang memiliki modal alias uang besar, punya kekuatan, hingga merasa bebas untuk melawan kritikan dan terkesan berusaha membungkam alih-alih menerima  kritikan. Arogan, begitulah kira-kira bahasanya, yang belakangan juga menjadi "stempel" yang diberikan oleh pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Dari kacamata iseng saya, jika pemilik gagasan mempolisikan Acho adalah petinggi perusahaan pengelola apartemen itu adalah seorang pria, dapat dipastikan dia adalah pria paling kesepian. Mungkin ia tak pernah pacaran, atau mungkin tak punya pengalaman menikmati "semprotan" seorang pacar cemburu buta, yang dapat dipastikan jauh lebih pedas dari kritikan Acho.
Lha, Acho hanya membicarakan unek-unek dan pengalaman pribadinya, bukan menyemprot secara membabi-buta yang hanya berdasarkan kata pulan bin pulan. Artinya, yang dia sodorkan adalah fakta, bukan sesuatu yang mengada-ada.
Tak heran jika kemudian pihak YLKI pun turun tangan, dan ikut membuat isu ini membesar. YLKI tentu saja berbicara sebagai wakil dari konsumen, dan ini menjadi pukulan lain bagi pihak perusahaan terkait, karena keteledoran mereka sendiri.
Bumerang. Itulah kata yang tepat untuk menyebut langkah dilakukan pihak apartemen terkait. Sebab, apa yang kemudian terjadi, selain pengguna media sosial memviralkan kejadian itu, berbagai media massa mempublikasikan kasus itu, dan hampir semua pihak berada di pihak Acho (baca: konsumen).
Bahkan aib-aib masa lalu pihak Green Pramuka City pun beredar luas di jejaring sosial, terutama Facebook dan Twitter. Bahkan ada yang membeberkan jika pihak perusahaan itu bukan kali ini saja melakukan langkah yang cenderung menzalimi konsumen mereka sendiri. Telah berkali-kali mereka melakukan itu, namun kurang mendapatkan tanggapan publik karena kebetulan di masa lalu mereka "menang" lantaran tak menyentuh figur yang terbilang tokoh publik.
Tampaknya memang begitu jika menyimak bagaimana mereka bereaksi. Alih-alih melihat keluhan Acho sebagai kritikan yang penting diperhatikan, mereka memilih mendudukkan konsumen mereka sendiri sebagai penyebab masalah yang harus dipolisikan.
Padahal andai mereka sedikit membuka sudut pandang selihai pria yang sadar bahwa di atas perempuan cantik masih ada yang lebih cantik, mereka takkan main "gebrak meja". Ya, langkah itu ibarat menggebrak meja, ketika mereka sendiri masih membutuhkan pasar dan membutuhkan konsumen. Apa lagi ini jika bukan sebagai bunuh diri.
Padahal, keluhan Acho tersebut terbilang hal yang memang penting juga untuk edukasi publik; soal hak konsumen, dan kebebasan konsumen untuk menyuarakan jika mereka merasa ada hal yang merugikan mereka.
Terlebih lagi, Acho pun hanya menyorot seputar sertifikat  yang memang sering dikeluhkan banyak penghuni tower pertama. Selain itu soal sistem perparkiran di Apartemen Green Pramuka City yang menurutnya dibebankan tarif parkir mobil hingga Rp 200.000 per bulan.
"Namun, sebagai member kita hanya boleh parkir di basement 2, jika berani parkir di area lainnya, maka akan dikenakan lagi biaya parkir regular yang perjamnya Rp 3.000 pada jam tertentu," tambahnya, seperti dilansir Kompas.com,Minggu (7/8). Ditambah lagi, basement dua yang disorot olehnya merupakan area parkir paling bawah dan berdebu lantaran baru selesai dibangun. Tapi justru semua mobil penghuni harus diparkir di sana hingga sempit dan penuh.
"Luar biasa, padahal fasilitasnya standard aja. Saat tulisan ini dibuat, belum ada fasilitas istimewa seperti sauna, tempat gym, lapangan tennis, golf dll, silakan buktikan sendiri," ditulis Acho di blognya, yang belakangan juga dikutip Kompas.com.
Sekarang, pihak apartemen tersebut sedang tidak lagi berhadapan dengan Acho sendiri atau konsumen lain yang selama ini mampu mereka bungkam. Mereka sudah berhadapan dengan publik hingga lembaga sekelas YLKI. Apa akibat terburuk dari pemandangan ini bukan hanya mereka telah mencoreng arang ke muka sendiri, tapi juga menjauhkan calon konsumen baru.
Buktinya, di banyak berita yang telah bermunculan, tak sedikit mengirim pesan yang bisa menjadi "bom waktu" bagi perusahaan terkait, "Catat nama perusahaan mereka, dan jangan pernah berurusan dengan mereka." Itu alarm bahaya dari solidaritas para konsumen, selain juga layak jadi perhitungan pihak perusahaan manapun yang masih sadar bahwa urat nadi mereka ada pada konsumen itu sendiri.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H