"Every child is an artist. The problem is how to remain an artist once we grow up."
Ya, setiap anak sejatinya adalah seniman. Persoalannya adalah bagaimana seseorang tetap menjadi seniman hingga ia kelak dewasa. Begitulah kira-kira terjemahan bebasnya. Itu bukan kata saya, tentunya. Itu adalah kalimat milik Pablo Picasso, pelukis yang namanya abadi hingga kini berkat kemahirannya dalam melukis. Â Â Â Â Â Â
Kalimat itu saya dapat lagi ketika berkunjung ke Pabrik Faber-Castell, 11 Juli lalu di Cibitung, beberapa pekan lalu. Sempat menjelajah ke sekeliling pabrik, mendengarkan pemaparan dari pengurus perusahaan itu, hingga menyaksikan bagaimana mereka bekerja, termasuk mendapatkan penjelasan seperti apa mereka mendudukkan diri tak hanya sebagai "produsen" atau "penjual".      Â
Ya, di antara hal paling menarik perhatian saya adalah kokbisa sebuah perusahaan bisa mendunia hingga bertahan ratusan tahun. Selain itu, bagaimana mereka menjadikan perusahaan tak hanya untuk "mencari uang", melainkan juga bagaimana mereka juga bisa berbagi. Â Â Â Â Â Â
Pesan tersirat dari membaca profil Faber-Castell, hingga mendengar sendiri penjelasan dari "orang dalam" perusahaan tersebut saat berkunjung ke sana, adalah bagaimana menjadikan sesuatu tak hanya sekadar untuk "mendapatkan" tapi juga pada bagaimana "memberi". Ringkasnya, sekadar mengambil, tanpa pendidikan tinggi dan inteligensi tinggi juga pasti mampu dilakukan. Namun untuk memberi, di sini ada sesuatu yang bahkan lebih dari inteligensi; kekuatan mengalahkan diri sendiri, dan keinginan kuat membuat dunia lebih berwarna. Â Â
Nah di situlah saya menemukan satu campaign yang menarik mereka lakukan. Terlepas itu mungkin tak lepas juga dari marketing-strategy,namun mengingat impactyang bisa dihasilkan, maka langkah pemasaran begini layak disebut menginspirasi. Â Â Â Â Â Â
Sebut saja dengan kegiatan "Connector Pen Challenge", yang lebih tertuju membuat orang tua dan anak dapat lebih menyatu. Pasalnya kegiatan itu memang melibatkan anak dan orang tua sekaligus. Campaign ini ternyata berangkat dari prinsip yang mendidik, bagaimana membuat waktu tak terhabiskan begitu saja, melainkan terhabiskan untuk hal yang lebih baik. Â Â Â Â Â Â
Membaca, menulis, dan kegiatan mewarnai, menjadi bagian rutinitas yang acap saya lakukan dengan anak saya sendiri, Shadia (2 tahun). Setidaknya, dalam usianya yang masih batita, Shadia mulai mengakrabi aktivitas tulis menulis hingga mewarnai. Meskipun "hasil karya" dia di usianya saat ini lebih banyak coret-coretan, tapi terkadang ia terlihat berusaha keras menggambar sesuatu dan mendefinisikannya dengan, "Ini burung, ini pesawat, ini kupu-kupu..." dan mengapresiasinya.
Sebagai seorang ayah, saya pribadi melihat produk yang dihasilkan oleh Faber-Castell, memang tak hanya sekadar sesuatu yang hanya sekadar barang jualan pihak produsen. Melainkan ini merupakan suatu "senjata" yang dibutuhkan untuk melatih anak dalam mengenal warna hingga mengakrabkannya dengan seni. Saya memberinya pensil hingga pulpen, setidaknya untuk membantu tangannya terlatih dengan cepat dengan benda itu.
Belajar dari pengalaman pribadi juga, betapa, keakraban di masa kecil dengan pensil hingga pulpen mengakrabkan saya dengan aktivitas tulis-menulis. Dari awalnya hanya coret-mencoret di masa balita, mampu menulis, hingga bekerja pun tak jauh dari tulis menulis--walaupun pilihan mengakrabkan anak dengan benda-benda terkait itu bukan berarti agar anak harus mengikuti profesi bapaknya sebagai jurnalis.Â
Terpenting bagi saya sebagai seorang ayah, lewat alat-alat semisal alat tulis, membuat anak bisa mengenal dirinya dan apa yang bisa dia kembangkan. Seperti juga pernah saya catat di Instagram pribadi, yang lebih saya pentingkan bagi anak bukanlah sekadar ia mengenal segala hal, tapi lebih penting lagi ia mengenal yang terdekat dengannya lebih dulu, dan itu adalah dirinya sendiri; sebab di dalam dirinyalah terdapat semua yang kelak dapat digunakannya untuk menghadapi hidup dengan semua tantangannya. Sederhananya, jika ia asing dengan apa yang ada di dalam dirinya, tentu saja tak dapat berharap terlalu jauh bahwa ia bisa menggali dan menemukan potensi di dalam dirinya.
Keyakinan saya juga--masih sedikit bercerita perspektif pribadi--ketika seorang anak lebih mengenal banyak warna, kelak ketika ia menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan pemecahan, dia sudah akrab dengan sudut pandang; bahwa hidup menyajikan banyak pilihan, dan warna terindah hanya terjadi ketika seseorang tak hanya terpaku pada "satu warna". Â Â Â Â Â
Kembali ke campaign diusung Faber-Castell, pendekatan mereka lewat cara-cara edukatif itu, menjadi hal paling menarik perhatian saya. Dan itu bukanlah sesuatu yang baru mereka kerjakan. Sebut saja program Workshop Guru, Faber-Castell membawa manfaat hingga menjangkau 5 ribu peserta, yang menyentuh guru di tingkat Taman Kanak-Kanak hingga sekolah dasar. Itu angka per tahun, dan tentu saja sangat layak diapresiasi jika dalam 17 tahun terakhir saja hal itu dilakukan secara rutin. Â Â Â Â Â Â
Dalam catatan di buku "Jejak Inspirasi, Membangun Generasi Melalui Kreasi", tercatat jika pada 2015 saja menjangkau seluruh Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, hingga Papua. Tak hanya menyasar kawasan yang mudah diakses, Faber-Castell juga merambah hingga ke pelosok dan perbatasan. Â Â Â Â Â Â
Menariknya lagi, pada 2011 misalnya, saat Ulang Tahun ke-250, mereka juga menghelat program Lomba Gambar dengan hadiah wisata ke luar negeri. Tak heran jika saat itu saja, tercatat 36.798 anak dari 31 kota di Indonesia---dari tingkat TK hingga SD---ikut ke lomba tersebut, dan berwisata ke Stein, Jerman. Â Â Â Â Â Â
Tak kurang halnya pada 2014, mereka juga mengadakan Lomba Gambar Nasional Faber-Castell, yang diadakan di 92 kota di seluruh Indonesia. Saat itu terdapat peserta hingga 62.256 anak. Saat itu pemenang mendapatkan hadiah wisata ke Tembok Besar Tiongkok. Program ini sendiri masih dilakukan hingga kini. Tak heran jika Museum Rekor Indonesia (MURI) pun mengganjar Faber-Castell dengan penghargaan sebagai penyelenggara gambar terbanyak di Indonesia, terutama saat diadakan di 100 kota di seluruh Indonesia per September2013 hingga April 2014. Â Â Â
Tentu saja, dari catatan sebagian kegiatan Faber-Castell itu cukup menunjukkan adanya dedikasi yang tak lepas dari rekam jejak mereka sejak awal berdiri. Ya mereka telah lahir sejak 1761, dengan sosok Kaspar Faber tercatat sebagai pendirinya, di Stein-Nuremberg, Jerman. Lantas perusahaan itu berubah nama, ternyata tak lepas dari pernikahan salah satu anggota keluar Faber, Baroness Ottilie von Faber dengan Count Alexander zu Castell-Rudenhausen.
Usia perusahaan itu yang kini lebih dari 250 tahun membuat mereka menjadi perusahaan alat tulis terbesar sekaligus tertua di dunia. Ada 25 kantor perwakilan di seluruh dunia, selain juga memiliki 14 pabrik di 10 negara, namun wilayah distribusi menjangkau 120 negara, dan mempekerjakan 7 ribu karyawan. Â Â Â Â Â Â
Patut dicatat, di Indonesia sendiri, mereka sudah bekerja sejak 1999 lewat PT Faberindo Perkasa, dan pada 2005 diambil alih Faber-Castell dan berganti nama menjadi PT Faber-Castell International Indonesia. Di dalam negeri, ada tujuh perwakilan yang berada di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Samarinda---di samping pabrik marker yang ada di Cibitung, Jawa Barat. Â Â Â Â Â Â
Tak kalah menarik, dari pabrik yang ada di Cibitung itu saja, ternyata mampu mengekspor hingga 30 negara---berdasarkan catatan buku Jejak Inspirasi, Membangun Generasi Melalui Kreasi. Â Â Â Â Â Â
Yandramin Halim, Presiden Direktur PT Â Faber-Castell Indosia, Cibitung, sempat menjelaskan kenapa Faber-Castell bisa bertahan lama. Menurutnya tak lepas dari bagaimana membuka kepekaan. "Faber-Castell sendiri hadir tak lepas dari seni. Kemampuan seni itu sendiri juga dipengaruhi dari bagaimana kita mengasah rasa---kepekaan," kata Halim, saat itu. Jadi, menurutnya, selama ini Faber-Castell tetap dapat diterima oleh publik dunia tak lepas dari dorongan yang berangkat dari "rasa seni" tersebut. Â Â Â Â Â Â
Halim juga menyebutkan jika seni itu sama sekali tak dapat diremehkan. Rasa dan otak kita, katanya, jika tak dilatih ada kemungkinan besar akan menciut dan melemah. Maka itu, menurut Halim, pihaknya belajar dari apa yang menjadi kebutuhan---bukan sekadar kebutuhan pasar---tapi juga kebutuhan manusia. "Jadi begitu, maka kenapa Faber-Castell bisa bertahan hingga ratusan tahun."*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H