Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Chester Bennington dan Keputusan Mati dengan Cara Sendiri

21 Juli 2017   05:04 Diperbarui: 23 Juli 2017   03:28 14095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musik diusung Linkin Park memang keras. Tapi hidup tampaknya jauh lebih keras dari alunan melodi, drum, bass, dan vokal Chester Charles Bennington.Terbukti, akhirnya justru Bennington yang terkenal dengan suara penuh karakter, mengakui kekalahannya atas realitas hidup. Bennington bunuh diri. Itulah berita menyeruak per Kamis 20 Juli. Takkan ada lagi suaranya, kecuali hanya yang pernah terekam di album-album lagunya.

"I tried so hard, and got so far, but in the end, it doesn't even matter..." lirik lagu In The End ini akhirnya mewakili akhir perjalanan kehidupannya. Entah ia merasa perjuangan hidupnya selama ini tak terbayarkan di luar sekadar materi, meski ia kehilangan banyak hal; waktu, kegembiraan, dan kini nyawanya.

Kematiannya misterius, meskipun kuat dugaan dia bunuh diri, seperti dilansir The Guardian dan beberapa media lainnya. Mike Shinoda, rekannya di Linkin Park pun mengaku sempat tidak yakin dengan kabar mendadak tersebut. Tapi akhirnya, lewat akun Twitter, Shinoda mengakui kebenaran kematian vokalis kelahiran 1976 terdebut.

Chester Bennington memilih mati dengan cara sendiri - Foto: LoudWire.com
Chester Bennington memilih mati dengan cara sendiri - Foto: LoudWire.com
"I had to fall. To lose it all," teriaknya, juga bagian lagunya di album  Hybrid Theori (2000). Teriakannya terhenti 17 tahun sejak album itu keluar.

Kematiannya memang terasa asing dan sulit dipercaya oleh sebagian penggemarnya. Selain terlalu mendadak, juga nyaris sulit dipercaya alasan kenapa ia memutuskan bunuh diri. Beberapa media massa melaporkan, keputusan itu diambilnya karena ia sendiri frustrasi tak bisa melepaskan diri dari beberapa kebiasaan buruk; ketergantungan pada obat-obatan dan alkohol.

Hampir selalu, mereka yang mampu meraih puncak ketenaran di dunia seni, kerap abai untuk tidak menceburkan diri ke dalam barang yang mampu menyihir dan membius hingga melumpuhkan nalar itu.

Sebagai seorang ayah dengan enam anak, pastilah ia menyadari, buah hatinya membutuhkan dekapannya dan tatapan mata yang menguatkan mereka menghadapi hidup. Tapi ia sekarang tak lagi sekadar meninggalkan Talinda Ann Bentley, istrinya, tapi juga Jaime, Isaiah, Draven Tyler, dan sepasang anak kembarnya Lily dan Lila.

Tapi ketergantungan pada barang haram sejauh ini ditengarai sebagai pemicu terkuat, hingga ia memilih melupakan betapa butuhnya anak-anak itu kepadanya. Menjadi pendorong terkuat hingga ia memutuskan pergi dengan tangan sendiri. Mencari pemakluman, memang dapat dimaklumi kenapa ia tenggelam begitu dalam ke dunia obat-obatan terlarang hingga alkohol. Ia kerap bercerita, sejak kecil dirinya sering menjadi sasaran kekerasan; menyisakan dendam hingga kemarahan yang tak betul-betul padam.

Musik cadas yang menjadi pilihan hidupnya memang sempat menjadi penawar luka yang dibawanya sejak remaja. Tapi, ternyata tak benar-benar cukup untuk memulihkan semuanya; hingga ia tetap saja tenggelam ke dalam kebiasaan buruk yang melumpuhkan akal sehatnya dan berujung kematiannya sendiri.

Bennington yang juga pernah membidani Stone Temple Pilotsini betul-betul akhirnya mengangkat bendera putih setelah musik kerasnya tak dapat melumpuhkan kerasnya hidup.

Baru berbilang bulan, Chris Cornell pemusik yang pernah mengotaki Audioslave dan Soungarden yang juga rekannya bunuh diri. Kini ia memilih menyusulnya, entah mungkin berharap di alam sana masih dapat bermusik lagi. Entahlah. Setidaknya ia telah meninggalkan pesan dalam hidupnya. Jangan menyembunyikan luka atau dendam, sebab itu hanya membutuhkan penyembuhan agar tak berakibat fatal ketika pikiran dan hati telah tiba di puncak kelelahan.

It starts with
One thing I don't know why

Kita penggemarnya pun tak kan betul-betul dapat memahami, kenapa berakhir seperti ini. Setidaknya, dia telah menjalani hidup dengan pilihannya, dan mati pun dengan pilihannya. Toh, Tuhan pun akhirnya tak mendikte lagi dengan cara apa ia harus mati.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun