Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kaesang Hanya Kurang Asam Garam

6 Juli 2017   02:26 Diperbarui: 7 Juli 2017   04:52 8394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat mendengar Kaesang Pangarep dilaporkan ke polisi karena dituding menodai agama, saya melakukan dua hal: pertama tertawa terbahak-bahak, kedua tertawa terkekeh-kekeh. Ya, saya termasuk yang tak habis tertawa, terlebih setelah melihat kabar itu diangkat di hampir semua media daring. Menertawakan Kaesang Pangarep? Iya, yang anak presiden itu. Lho kok?

Betul, itu tertawa yang pertama yang saya sebut terbahak-bahak. Sebab saya yakin seyakin-yakinnya, dia sendiri pasti tertawa layaknya menonton "Tom and Jerry" atau sedang menyaksikan "Masha and the Bear" begitu mengetahui dirinya menjadi terlapor. Dia memang "child yesterday afternoon" alias anak kemarin sore--bukan menurut grammar British English atau American English, tapi ini murni Indonesian English. Sejauh ini, saya melihatnya memang sebagai anak kemarin sore.

Jangan jengkel dengan istilah ini Sang jika kau sempat membaca ini. Istilah itu memang ditujukan untuk anak muda yang belum banyak makan asam garam; karena dia tahu asam terlalu banyak bisa saja berisiko perut kembung atau bahkan sakit lambung.

Jadi, Sang, terserah kau dibilang belum banyak makan asam garam, konsistenlah jangan perbanyak makan itu; tidak sehat juga jika berlebihan. Apalagi, yang melaporkannya ke polisi itu sendiri tampaknya justru orang yang memang keterlaluan banyaknya makan asam garam. Tak hanya Si Pelapor telah berusia lebih dari 50, tapi tingkat asamnya betul-betul sudah di level maksimal.

Alasan orang itu melaporkan anak kemarin sore ini, karena membela agama lantaran, menurutnya, Kaesang telah melakukan penodaan agama. Tahu sendirilah, jika sudah membela agama, harapannya tentu saja surga. Tapi saya tak tahu, bidadari di surga apakah akan mau dikawini? Sebab saya ragu mereka mau.

Toh, di dunia saja, takkan ada perempuan yang bisa tahan berlama-lama jika pacar atau suaminya berwajah masam. Jangankan menerimanya untuk berpelukan, untuk memandang saja tak boleh--ini lirik lagu Ratih Purwasih. Maksudku, boro-boro ada perempuan mau dinikahi, ditiduri, oleh pria jika wajahnya saja sudah masam. Orang masuk surga itu, salah satu cirinya menurut kabar dari kitab ke kitab mestilah berwajah berseri-seri. Jika di dunia sering berwajah masam, sulit dipahami mereka akan terlatih untuk berwajah berseri-seri di akhirat kelak.

Di sini kau menang, Sang. Sebab saban kali melihat Vlog-mu, kau bisa mengundang tawa seraya membuat yang masih bisa mikir tercenung sambil tertawa melihat ulahmu.

Tak banyak anak muda yang bisa melihat kelucuan di tiap fenomena. Saat bapakmu diejek, bahkan, kau masih bisa menemukan bahan tertawaan. Tampaknya kaupaham, surga kelak penuh tawa; bukan tempat untuk yang terlalu bangga dengan banyaknya makan asam garam hingga wajah pun kerap terlihat asam.

Ketika kau dituduh melakukan penodaan agama, kau juga pasti bisa melihat bagaimana orang-orang yang sering merasa paling beragama dan tabiatnya. Mereka itu hanya merasa saja; lalu bangga, dan merasa berhak menzalimi siapa saja.

Setiap bersua yang mereka rasa tak sejalan dengan suara cacing di perut mereka; maka disemburkanlah asam yang terlalu berlebihan mereka makan ke mana-mana. Tahu sendirilah, Basuki Tjahaja Purnama yang mati-matian membenahi Jakarta, dikeroyok habis-habisan oleh mereka, juga karena alasan mengada-ada.

Basuki atau Ahok tak seberuntung dirimu, Sang. Selera humor dia punya, tapi tak leluasa diekspresikannya; karena dia memang terlalu serius, dan berpikir terlalu keras karena harus menghadapi begitu banyak orang keras kepala. Kau tahulah, mereka yang keras kepala sangat sulit memasukkan hal yang belum pernah mereka masukkan ke tempurung kepalanya. Jadi jangan heran jika isi kepala mereka, ya begitu-begitu saja.

Juga jangan heran, jika apa saja lantas jadi penodaan agama, menurut mereka, lho. Apakah karena itu memang perintah kitab suci, difirmankan Tuhan? Masa iya Tuhan menyuruh apa-apa tersinggung, apa-apa marah, dan apa-apa maunya perang saja. Saya sih berpikir mereka terlalu banyak membaca koran kuning saja. Toh, kata "penodaan" itu paling banyak ya di koran berjenis itu. Terinspirasi dari sanalah sehingga apa-apa mereka akan gampang mengatakan penodaan, dibubuhkan kata "agama" agar dagangan mereka laris.

Memang mereka berdagang? Iya, mereka berdagang, dan yang diperdagangkan adalah agama. Kau tahu, jika seseorang sudah merasa nikmat berdagang agama maka ia akan terbuai; karena konon tak perlu kerja keras untuk kaya jika itu diperdagangkan. Bukan rahasia lagi ada yang bisa beli Rubicon dari hasil berdagang model itu. Ada juga yang bisa mendirikan villa di banyak tempat dari sana. Atau, bisa menikahi beberapa wanita sekaligus. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang mereka dustakan.

Tahu sendiri, tarif mereka saban tampil membawa pesan-pesan agama jauh di atas kemampuan kami rakyat jelata yang nanggap dangdut saja keteteran. "Siapa suruh miskin" begitu kata mereka sambil menyibakkan poninya, yang kerap tertutup peci.

Agak serius. Sulit kita mencari orang yang betul-betul beragama. Sebab jika kita memilih menjadikan agama sebagai ruh untuk memanusiakan manusia, bisa-bisa justru kita dituding liberal, murtad, ateis, komunis. Kita berguru ke ulama yang mengajarkan kedamaian dan bagaimana membangun justru divonis oleh mereka penakut, tak punya nyali, atau tak punya "ruh jihad".

Mereka itu entah bagaimana ceritanya memang gandrung melihat jihad sebagai kemampuan merusak; dari membunuh hingga menghancurkan. Maka jangan heran jika hasrat mereka melakukan hal-hal selaras dengan itu atau dengan ruh merusak begitu; memfitnah dianggap menyenangkan Tuhan, membesar-besarkan masalah dianggap akan dibayar dengan ganjaran besar dari sponsor dan Tuhan sekaligus.

Maka itu saya tertawa terkekeh-kekeh--ingat tertawa yang kedua saya sebut di atas. Kok bisa mereka bisa hidup dengan cara melihat begitu. Maksudnya, apa mereka tidak tersiksa dengan perasaan dengki, kemarahan, khianat, dendam? Padahal, iri saja melihat calon gebetan disunting orang saja sudah sangat menyiksa lho.

Tapi, ya begitulah. Saya pribadi, sebagai bapak satu anak yang juga sama-sama belum banyak makan asam garam karena khawatir bermasalah dengan lambung, cuma berpesan; tetap hadapi manusia begitu dengan tawa. Sebab, sekali lagi, surga saja hanya menerima hamba Tuhan yang memiliki wajah berseri-seri.

Tetaplah mengedukasi lewat parodi-parodi dan video sedikit nakal. Sebab kenakalan sedikit itu diperlukan untuk mengembalikan orang yang kebanyakan makan asam garam pada tempatnya. Jika kenakalan ini tetap dituding sebagai penodaan agama, ya ajak saja taruhan, jika kita yang rajin tertawa dan berbagi senyum manis ini yang justru masuk surga mereka harus bersedia disunat dua kali?

Tapi pastikan ke mereka, tukang sunat hanya ada di neraka, lho. Sebab surga tentu saja tak menerima layanan sunat.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun