Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kaesang Hanya Kurang Asam Garam

6 Juli 2017   02:26 Diperbarui: 7 Juli 2017   04:52 8394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaesang acap mampu menanggapi hinaan dengan humor, sebagai kelebihannya - FOTO: Dok. Kaesang Pangarep

Juga jangan heran, jika apa saja lantas jadi penodaan agama, menurut mereka, lho. Apakah karena itu memang perintah kitab suci, difirmankan Tuhan? Masa iya Tuhan menyuruh apa-apa tersinggung, apa-apa marah, dan apa-apa maunya perang saja. Saya sih berpikir mereka terlalu banyak membaca koran kuning saja. Toh, kata "penodaan" itu paling banyak ya di koran berjenis itu. Terinspirasi dari sanalah sehingga apa-apa mereka akan gampang mengatakan penodaan, dibubuhkan kata "agama" agar dagangan mereka laris.

Memang mereka berdagang? Iya, mereka berdagang, dan yang diperdagangkan adalah agama. Kau tahu, jika seseorang sudah merasa nikmat berdagang agama maka ia akan terbuai; karena konon tak perlu kerja keras untuk kaya jika itu diperdagangkan. Bukan rahasia lagi ada yang bisa beli Rubicon dari hasil berdagang model itu. Ada juga yang bisa mendirikan villa di banyak tempat dari sana. Atau, bisa menikahi beberapa wanita sekaligus. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang mereka dustakan.

Tahu sendiri, tarif mereka saban tampil membawa pesan-pesan agama jauh di atas kemampuan kami rakyat jelata yang nanggap dangdut saja keteteran. "Siapa suruh miskin" begitu kata mereka sambil menyibakkan poninya, yang kerap tertutup peci.

Agak serius. Sulit kita mencari orang yang betul-betul beragama. Sebab jika kita memilih menjadikan agama sebagai ruh untuk memanusiakan manusia, bisa-bisa justru kita dituding liberal, murtad, ateis, komunis. Kita berguru ke ulama yang mengajarkan kedamaian dan bagaimana membangun justru divonis oleh mereka penakut, tak punya nyali, atau tak punya "ruh jihad".

Mereka itu entah bagaimana ceritanya memang gandrung melihat jihad sebagai kemampuan merusak; dari membunuh hingga menghancurkan. Maka jangan heran jika hasrat mereka melakukan hal-hal selaras dengan itu atau dengan ruh merusak begitu; memfitnah dianggap menyenangkan Tuhan, membesar-besarkan masalah dianggap akan dibayar dengan ganjaran besar dari sponsor dan Tuhan sekaligus.

Maka itu saya tertawa terkekeh-kekeh--ingat tertawa yang kedua saya sebut di atas. Kok bisa mereka bisa hidup dengan cara melihat begitu. Maksudnya, apa mereka tidak tersiksa dengan perasaan dengki, kemarahan, khianat, dendam? Padahal, iri saja melihat calon gebetan disunting orang saja sudah sangat menyiksa lho.

Tapi, ya begitulah. Saya pribadi, sebagai bapak satu anak yang juga sama-sama belum banyak makan asam garam karena khawatir bermasalah dengan lambung, cuma berpesan; tetap hadapi manusia begitu dengan tawa. Sebab, sekali lagi, surga saja hanya menerima hamba Tuhan yang memiliki wajah berseri-seri.

Tetaplah mengedukasi lewat parodi-parodi dan video sedikit nakal. Sebab kenakalan sedikit itu diperlukan untuk mengembalikan orang yang kebanyakan makan asam garam pada tempatnya. Jika kenakalan ini tetap dituding sebagai penodaan agama, ya ajak saja taruhan, jika kita yang rajin tertawa dan berbagi senyum manis ini yang justru masuk surga mereka harus bersedia disunat dua kali?

Tapi pastikan ke mereka, tukang sunat hanya ada di neraka, lho. Sebab surga tentu saja tak menerima layanan sunat.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun