Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Profesi Hanya Sekadar Jembatan

27 Juni 2017   09:38 Diperbarui: 27 Juni 2017   13:11 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah Anda bertemu polisi menjengkelkan? Saya juga sering. Dari yang petantang-petenteng, berbicara tak beda dengan preman pasar, hingga yang menatap seolah mengajak adu otot.  Tapi saya juga merasa bersyukur, bisa mengenal dan bahkan akrab dengan sebagian polisi lain yang bisa menunjukkan betapa mulianya profesi mereka. Toh profesi apa pun tak selalu bisa menghadirkan wajah layaknya malaikat. 

Ada memang yang melihat profesinya sebagai hal terlalu luar biasa, sebagai kesempatan untuk menguasai segalanya. Alhasil, alih-alih membawa manfaat, profesinya hanya menjadi petaka bagi yang lainnya. Mereka yang seperti itu mungkin sedang lupa jika pekerjaannya itu memiliki banyak tanggung jawab. 

Banyak yang melihat tingginya kebutuhan orang lain kepadanya, sebagai alasan untuk makin menunjukkan dia berkuasa dengan profesi dilakoninya. Itu bukan hanya dilakukan sebagian oknum polisi. Penjual kaki lima pun bisa menzalimi Anda lewat dagangannya.  Bahkan jurnalis, profesi yang juga saya geluti, tak sedikit yang melakukan kezaliman dengan profesinya.

Belum lama, salah satu teman di salah satu perusahaan milik negara mengeluhkan bagaimana ruwetnya bertemu dengan jurnalis yang gemar nyari perkara. Jurnalis selalu saja mencari masalah sekecil apa pun sebagai jalan untuk mengintimidasi hingga meneror. "Perkara itu akan tetap menjadi rahasia hanya jika Anda memenuhi permintaan kami."

Bisa ditebak, jika sudah begitu, ke mana arahnya. Segepok uang harus disediakan, atau jika tidak maka mereka akan mem-blow up satu masalah kecil terlihat sebagai kasus besar. Itu bukan lagi rahasia, tentunya. Seperti juga jika Anda bertemu pedagang kaki lima hingga pedagang level gerobak sekalipun, potensi Anda menjadi korbam akan tetap ada.

Begitu juga halnya terkait polisi. Lembaga itu sendiri kerap dinilai miring oleh sebagian masyarakat hanya karena ulah sebagian oknum polisi yang menjengkelkan. Pasalnya, mirip jurnalis diceritakan tadi, masalah kecil dijadikan alasan untuk menekan hingga memeras. Jadi, soal pribadi-pribadi menjengkelkan itu memang ada di hampir semua profesi--jika tidak mengatakan semua profesi sama saja.

Bahkan saya pribadi, penjaga sandal di masjid pun pernah bersikap kasar hanya karena memilih mendahulukan yang sedang terburu-buru, namun penjaga sandal itu merasa pekerjaannya menjadi lebih lama gara-gara sikap saya.  Atau, jika sedang berwisata bertemu penjual makanan yang menaikkan harga sesuka perut mereka saja. Biasa terjadi. Tapi lagi-lagi, bukan sikap bijak jika ulah sebagian oknum lantas semua yang seprofesi mereka dianggap sama saja.

Terkait polisi, saya lebih tertarik melihat dan mengingat mereka yang bekerja dengan panggilan hatinya. Masih ingat tentang ibu dan anak yang disandera residivis di angkot? Penyelamat sang ibu bukanlah polisi yang memang memiliki tugas untuk menangani kriminal. Ia konon bertugas sebagai polisi lalu lintas, namun panggilan kemanusiaannya membuat polisi ini menolak berdalih, "Ini bukan pekerjaan gue".

Ketika ada yang membutuhkan, nuraninya yang memanggil hingga ia datang. Ia datang dengan solusi dan membantu. Se-Indonesia dibuat terharu dengan polisi ini. Atau, Anda mungkin juga belum lupa dengan polisi yang berusaha mengatur lalu lintas di salah satu pojok Jakarta, didamprat oleh seorang pegawai wanita dari salah satu institusi tinggi. Ia bisa bersabar, dan menahan diri, tak berusaha membela diri meski ia sedang menjalankan pekerjaannya.

Alhasil publik pun dibuat jatuh cinta kepadanya. Masyarakat bersimpati kepadanya. Terlepas di banyak kasus kerap berlaku adagium perempuan selalu benar--dan paling pantas dibela, dalam kasus polisi tersebut justru ia sendiri mendapatkan pembelaan publik dan mendapatkan respek tinggi dari masyarakat.

Polisi itu memang tidak melakukan aksi seheroik polantas yang membebaskan tersandera di angkot. Tapi mereka sama-sama menuai pujian masyarakat karena lebih memilih mendengarkan nurani. Jika polantas tadi merasa bahwa korban sandera butuh pertolongan, maka polantas kedua merasa bahwa meski harga dirinya sedang diinjak dan profesinya dilecehkan, dia merasa lebih penting tetap bisa memperlakukan wanita dengan cara terhormat.

Orang-orang seperti polisi itu memang acap dinilai sebagai makhluk langka di tengah zaman yang kian diidentikkan dengan era kembalinya hukum rimba; yang berkuasa maka berkuasa melakukan segalanya. Mereka memilih kembali kepada nurani. Kekuasaan, sebesar apa pun hanyalah jembatan untuk makin besarnya kesempatan melakukan kebaikan; bukan kesempatan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Ini memang berkaitan juga dengan mental. Banyak yang menerjemahkan urusan mental melulu berkaitan dengan kemampuan menahan pukulan dan tekanan, tapi masih ada yang mampu melihat bahwa ketika godaan sewenang-wenang terbuka lebar untuknya maka itu juga kesempatannya menunjukkan dirinya mampu menguasai diri.

Power tends to corrupt. Bagi mereka sukses diubah menjadi kekuasaan sebagai peluang melakukan kebaikan.

Kesempatan membawa manfaat tentu saja bukan hanya peluang bagi mereka yang berpangkat dan berada di posisi abdi negara atau mereka yang memiliki profesi yang "wah" saja. Toh, Anda pasti tidak lupa, betapa di salah satu kota, seorang bapak yang telah tua yang bekerja hanya berbekal gerobak, justru menjadi pahlawan. 

Ia menjadi pahlawan karena mencaei jalanan berlubang, dan dengan uang dan tenaganya sendiri menambal lubang-lubang itu.  Mereka itu menjadi pahlawan justru saat mereka sendiri tak berpikir untuk disebut pahlawan. Mereka hanya bergerak dan tergerak, manfaat apa yang bisa mereka berikan untuk banyak orang.

Ya, itulah yang berkelebat di benak saya sepanjang jalanan sepanjang Lebaran ini. Melihat polisi di sepanjang jalan, bekerja tanpa lelah, berdiri di pinggir hingga tengah jalan; menghirup asap kendaraan, di bawah matahari yang membakar.

Mereka yang dihormati memang bukan karena institusi, tapi karena mereka bekerja dengan nurani.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun