Kalian tahu tidak jika di sini pernah ada kanal humor yang terjungkir, terdepak, tersepak; hingga mereka yang betul-betul memiliki selera humor tinggi terpaksa berpura-pura serius? Dan, Anda tahu, dunia lebih dekat dengan kiamat justru karena makin berkurangnya obrolan-obrolan bau humor.
Buktinya? Urusan bau, silakan Anda buang angin di kerumunan dalam ruang sempit, Anda akan tahu efek dari keringnya selera humor. Anda akan melihat langsung wajah-wajah yang menunjukkan hawa permusuhan dan mengajak perang. Maka kenapa, bau sesuatu akan menentukan efek tertentu.
Seperti bau humor tadi; tempat mereka diberangus, ruang mereka diobrak-abrik, dan sebagian penghuninya memilih angkat kaki sambil mencari sandal-sandal terbagus yang ada di masjid-masjid terdekat--maaf, sedikit menyinggung pengalaman pribadi.
Tapi kali ini, ya begini, aku mencoba menyuarakan suara hati mereka, jeritan pilu mereka, dengan bahasa bau-bau mereka. Sebab jika menulis saran dengan bahasa terlalu serius, mukaku lagi-lagi dituduh sang istri sebagai muka yang tak pernah tertawa--meski dia tahu aku jarang tertawa cuma untuk menyembunyikan gingsul yang gagal.
Kenapa saran untuk minta dikembalikan satu rubrik ditulis seperti tak serius? Dulu, di masa jombloku, aku sering nembak wanita dengan cara tak serius. Cuma dengan cara itu aku bisa mengelak jika tertolak; maaf, aku cuma bercanda.*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI