Afi Nihaya Faradisa. Itulah nama yang belakangan ini mencuri perhatian banyak kalangan, tak terkecuali presiden Joko Widodo pun mengundangnya ke Istana. Bukan nama asli, sebab gadis berusia 18 tahun tersebut memiliki nama Asa Firda Inayah. Belakangan, keaslian tulisan dia pun mencuri perhatian tak kalah besar dibandingkan saat ia melejit lewat status-status Facebook yang konon ditulisnya.
Saya pribadi tak ingin menghakimi, terlepas berbagai tuduhan dilempar kepadanya lengkap dengan seabrek bukti. Melihat dari kedua sisi secara seimbang terasa lebih baik.Â
Mereka yang memilih untuk mengangkat persoalan dugaan keculasan yang terjadi, tak dapat dituduh ingin mengambil tempat untuk turut mendapatkan popularitas. Sebab, boleh jadi mereka hanya tergerak untuk melawan segala bentuk plagiarisme, dan sebisa mungkin menghentikan budaya itu sejak awal.
Walaupun, secara pandangan pribadi, terasa kurang elok juga jika mengkritik satu figur yang belum dapat dipastikan kestabilan emosi dan mental di depan publik. Sebab, terlepas niat baik, jika dilakukan dengan cara kurang baik, tak dapat menjamin akan menghasilkan efek baik.
Tentu saja, ketidaksetujuan atas kritik di depan publik yang menjadi sikap saya pribadi-sebagai salah satu netizen, blogger, sekaligus pewarta-atas kasus itu, tak berarti membenarkan plagiarisme.
Hanya, yang saya kira sangat dibutuhkan di tengah fenomena ini adalah mendudukkan kasus itu pada porsi yang tepat. Bereaksi terlalu berlebihan atas sebuah kasus, melibatkan seorang remaja yang terbilang "wajah baru" di dunia literasi, alih-alih membantunya lebih baik dapat saja menjadi sebuah "pembunuhan" yang lebih mematikan daripada pembunuhan yang menghilangkan nyawa.
Setidaknya, begitulah menurut hemat saya pribadi.
Bagaimana mendudukkan masalah itu pada porsinya? Untuk sekarang, nyaris mustahil. Kenapa? Karena kalangan netizen pun sudah menjadikan kasus itu sebagai viral, dan di sisi lain media-media mainstream pun telah menjadikan kabar itu sebagai sorotan yang lagi-lagi menuai perhatian publik. Terlepas media mainstream ada yang berupaya mendudukkan kasus ini pada tempatnya, tapi tetap saja "pembunuhan" itu telah terjadi.
Kalaupun ada yang dapat dikatakan masih untung, karena Afi masih bernapas, dia masih menjalani hidupnya, dan dia pun memikul sebuah beban mental yang tidak ringan. Sebab terlepas kebenaran seputar dugaan yang dilemparkan kepadanya, tapi "pengeroyokan" atasnya itu terlalu besar. Tenaga mereka yang "membantai" gadis tersebut karena "kesalahan" yang dilakukan karena--saya duga--belum memahami etika kepenulisan dengan baik, terlalu besar. Sedangkan Afi tetaplah seorang gadis, yang baru menapaki dunia sebagai orang dewasa, persis di anak tangga pertama.
Mungkin iya, pengalaman popularitas yang kompleks sekaligus, baik dan buruk, menerpanya boleh jadi akan menjadi titik balik penting baginya. Mungkin kelak dia akan berkaca pada pengalaman ini, dan betul-betul mengeluarkan talenta terbaiknya; tapi juga bukan tak mungkin terjadi berbagai efek lainnya.
Jika diibaratkan orang yang sedang berlari kencang lalu terjegal, tingkat rasa sakit cenderung sangat besar. Nyaris dapat dipastikan, itulah yang kini sedang dialaminya. Terlepas itu kesalahan siapa, tapi saya berpikir, gadis ini membutuhkan tenaga lebih besar agar ide-ide yang menancap di pikirannya dan selama ini berusaha diperjuangkannya tidak lumpuh atau mati.
Dia masih membutuhkan dukungan sangat besar. Dia lebih membutuhkan contoh dan pemberi semangat, selain juga menunjuki seperti apa jalan kepenulisan yang sebenarnya. Yang memberi contoh tentu saja, idealnya, yang tetap dapat melihat dirinya sebagai sosok perempuan masa depan, yang tetap melihatnya sebagai manusia yang memiliki "harga diri".
Sederhana. Semua penulis pernah melakukan kesalahan, entah dalam mengutip, mengambil referensi, atau bahkan niat di balik sebuah tulisan. Tapi dalam kasus Afi, saya meyakini dia menulis karena ada ide besar yang menggelayuti pikirannya.
Afi memiliki perasaan terpanggil untuk melawan berbagai kezaliman yang kerap berangkat dari alasan mayoritas lebih berhak atas segalanya dibandingkan minoritas, pria harus lebih berkuasa dibandingkan wanita, dan berbagai potret lainnya.
Terlepas cara dilakukan Afi, dia masih bekerja untuk melawan itu; dengan cara yang ia bisa, dengan keterbatasan pengalamannya. Ada niat baiknya bahwa semua manusia dapat diperlakukan selayaknya manusia terlepas apa pun agama, suku, dan latar belakang lainnya.
Saya kira, dengan niat baik yang masih dimilikinya untuk memperjungkan ide-ide kemanusiaan itu, Afi masih tetap pantas diperlakukan dengan baik. Selain, agar dia pun lebih tergerak untuk bekerja dengan cara lebih baik untuk sebuah ide besar itu; untuk kemanusiaan.
                                                       ***
Untuk Afi sendiri, jalan menulis ini memang bukanlah sebuah tempat penuh bunga atau selalu berisi angin yang penuh kesejukan. Banyak yang telah menempuhnya entah untuk berbagi, untuk mengubah diri sendiri dan orang-orang atau sekadar untuk aktualisasi diri. Biasanya, mereka yang berangkat dari niat baik, takkan berhenti terlepas dalam perjalanan terkadang tersandung.
Banyak penulis yang harus melewati jalan penuh ranjau hingga berbagai duri. Ernest Hemingway, penulis dunia yang pernah mendapatkan hadiah Nobel itu, bahkan mengalami pukulan dari berbagai sisi tak terkecuali rumah tangganya pun menjadi taruhan--dia menikah hingga empat kali. Latar belakangnya dari kalangan berada, tak lantas menjanjikan dirinya dapat menjalani segalanya dengan mulus. Tapi dia memilih tetap berjalan hingga namanya pun abadi.
Atau, J.K Rowling yang masih menjadi magnet di dunia literasi dunia. Dia menulis karena "asuhan" berbagai pengalaman buruk dari depresi--perasaan putus asa mendalam--bercerai dari suami, hidup dari sumbangan karena bercerai dan tak punya pekerjaan, bahkan dia pernah hampir melakukan hal fatal, bunuh diri karena beratnya hidup harus dilakoninya.
Afi, bukan tak mungkin jika kelak dari Indonesia lahir penulis wanita yang bisa jadi melampaui J.K Rowling. Dan siapa tahu, itu kamu sendiri. Jika selama ini sempat terbawa perasaan orang-orang menghakimi dan mengeroyokmu, tinggal alihkan saja sudut penglihatan; bahwa mereka sedang membuat jembatan-jembatan baru untuk mengantarmu ke tempat lebih baik dan lebih tinggi. Bukan mustahil, kamu dapat melampaui mereka. Sepanjang niat baik masih ada di dalam pikiran dan hatimu, percaya Yang Maha Baik tak kesulitan memberikan yang terbaik untukmu.*Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H